
SAMARINDA. Kendati produksinya kian meningkat
setiap tahun, namun komoditas karet belum memiliki sentra pengolahan di
Kaltim. Sehingga karet dari Benua Etam hanya bahan baku tambahan bagi
daerah lain. Padahal, ini potensi yang nilainya besar.
Menurut Wakil Ketua Bidang Investasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Kaltim Alexander Sumarno, akhirnya karet pun dijual tanpa nilai tambah.
"Hal inilah yang membuat komoditas ini terpaksa diekspor dalam keadaan mentah," ucapnya.
Dia mengatakan, selain industri pengolahan, beberapa hal yang
menyebabkan komoditas karet susah berkembang adalah infrastruktur jalan
antardaerah yang masih rusak. Belum lagi masalah listrik yang belum
menunjang geliat perusahaan dan variabel biaya angkut kargo dari kebun
industri yang tinggi.
"Biaya angkut dari Samarinda menuju Jakarta tembus sekitar Rp 20 juta lebih untuk satu kontainer," sebutnya.
Dia menyatakan, hal inilah yang menyebabkan bahan mentah karet dari
Kaltim dikirim ke Kalsel, biaya di daerah tersebut lebih murah sekitar
Rp 11 juta. Sebab lebih baik dari segi infrastruktur dan suplai listrik. "Produknya mudah dikirim ke luar daerah seperti Jawa. Bahkan diekspor
hingga ke Jepang," katanya.
Dia menyebut, bila Kaltim hendak melirik karet sebagai salah satu
komoditas pendukung pertumbuhan ekonomi tentu harus memerhatikan
beberapa hal, seperti lokasi, tenaga kerja, listrik, akses penghubung,
dan biaya angkut.
Sekadar diketahui, Dinas Perkebunan mencatat, dengan luas lahan lebih
dari 103 ribu hektare (ha) pada 2013 lalu, produksi karet di Kaltim
mencapai 59.963 ton. Dengan kata lain, produktivitas tanaman ini
mencapai 1.191 kilogram (kg)/ha.
Menilik penyebarannya, Kutai Barat menjadi daerah penghasil karet
terbesar dengan produksi mencapai 35.278 ton. Dengan luasan lahan yang
hanya 34.421 ha, produktivitas di daerah ini pun tercatat yang paling
tinggi, yakni 1.620 kg/ha.
Meski secara statistik menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun
terakhir, pengolahan karet Kaltim rupanya masih bergantung pada daerah
lain, bahkan negara luar. Selain terkendala infrastruktur, kendala juga
datang dari masalah kemitraan masyarakat dengan perusahaan.
Produksi karet di Kaltim bisa 500 ton per hari. Provinsi ini layak
memiliki pabrik. Dari beberapa kabupaten penghasil karet, Penajam Paser
Utara (PPU) menjadi layak karena posisinya di tengah-tengah daerah lain.
Dari luasan 10.922 hektare pada tahun lalu, Sumarno mengungkapkan,
lahan karet di PPU kini telah mencapai 15 ribu ha. Tambahan produksi
dari daerah potensial seperti Kubar dan lainnya, menjadi alasan besar
Kaltim harus memiliki pabrik karet sendiri.
Jika pasarnya bagus, petani tanaman ini harusnya bisa hidup sejahtera.
Untuk harga karet berkualitas biasa atau disebut lem adalah Rp 7.000
per kg. Sementara, kualitas sedang Rp 10.000 per kg, dan mencapai Rp
40.000 per kg untuk yang super. Jika pabrik karet dibangun, ekonomi
daerah akan bergerak, belum lagi banyaknya tenaga kerja yang terserap. (*/ypl/che/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SABTU, 13 SEPTEMBER 2014