(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Kakao di Kaltim Tergerus Tambang

29 Desember 2015 Admin Website Berita Daerah 5360
Kakao di Kaltim Tergerus Tambang
SAMARINDA. Bertambang di Kaltim begitu menggairahkan. Saking eloknya bisnis pengeruk isi bumi itu, petani yang berkebun kakao di Kaltim tak mendapat penghargaan. Terus berkurangnya produktivitas berkebun kakao di Benua Etam, lantaran lahan cokelat itu tergerus oleh pertambangan.

Hal tersebut dikatakan masih bisa diatasi. Kaltim tetap akan mendapatkan manfaat lebih dari permintaan kakao dunia yang terus meningkat. Dengan syarat, pemerintah mau berperan lebih. Pasalnya, peluang ini akan terlewat dengan sendirinya bila petani kakao terus dibiarkan tak berkembang. Yakni, tak memiliki mesin pengubah bahan dasar cokelat ini.

Setelah nantinya mampu mengatasi kedua masalah di atas, pemerintah mesti mempermudah masuknya investor kakao. Sebab, selama ini swasta masih terkendala sulitnya pembebasan lahan saat hendak menanam modal untuk pabrik kakao.

Hal ini dinyatakan Wakil Ketua Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Fakhruddin Noor. Dia menyatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di pemerintahan Kaltim. Permasalahan di atas dapat teratasi dengan peran pemerintah.

"Saat ini, kebun kakao di Kaltim memang telah banyak berkurang, kami sadari itu. Banyak lahan perkebunan kakao yang tergerus oleh aktivitas tambang. Lahan mereka dibeli untuk dijadikan lokasi pertambangan. Makanya, jumlah kebun kakao semakin berkurang," ungkapnya.

Data Dinas Perkebunan Kaltim terakhir pada 2014, total luas areal kebun kakao di Benua Etam adalah 9,514 hektare (ha). Sangat jauh dibanding total luas kebun sawit, yakni 1,020,413 ha. Selisih 1,010,899 ha. Sementara produksinya adalah 4,053 ton per tahun, dengan rata-rata produksi 707 kilogram per ha. Tenaga kerja perkebunannya, 7.677 jiwa.

Dijelaskannya lagi, selain hal tersebut, di Kaltim ini para petani tak memiliki mesin pengolahan kakao, dari biji menjadi bubuk. Pemerintah semestinya membantu hal ini. “Selama ini kan, Kaltim hanya mengirim biji kakao ke Sulawesi, dari kebun kakao terbanyak yang terletak di Kutim dan Berau,” imbuhnya.

Kini, lanjutnya, kebun kakao banyak yang terbakar saat musim kemarau. Harga jual yang tak sebanding dengan sulitnya berkebun kakao yang tergolong sangat sulit. Ditambah lagi dengan keadaan Kaltim yang tak memiliki mesin pengolahnya. Padahal, kakao banyak manfaatnya. Selain bisa menjadi konsumsi sebagai pangan cokelat, juga bisa dijadikan obat.

"Masalah yang tak kalah penting, adalah mempermudah masuknya investor yang ingin membangun pabrik kakao. Selama ini, mereka terkendala pembebasan lahan. Biaya pembebasan lebih mahal dibanding biaya produksi. Tentu ini memberatkan," ucapnya.

Dia mengingatkan, agar peran pemerintah menangani hal ini tak bisa dielakkan. Permintaan kakao dunia yang terus meningkat harus segera dimanfaatkan Kaltim. Jangan cuma bisa menjadi pengirim bijinya saja. "Kadin sangat mendukung pemerintah untuk menangani ini," tegasnya.

Diketahui, permintaan kakao dunia makin meningkat ditopang kenaikan konsumsi dari tiga negara, yakni Indonesia, India, dan Tiongkok. Menurut Kementerian Perdagangan yang mengutip data dari Data International Cocoa Organization (ICCO), konsumsi kakao tiga negara tersebut saat ini masih rendah, yakni 0,25 kilogram (kg) per kapita per tahun.

Ke depan, menurut data Kementerian Perindustrian, konsumsi ketiga negara ini akan mencapai 1 kg per kapita per tahun. Maka, dari tiga negara itu akan ada tambahan permintaan kakao 2,2 juta ton per tahun. (*/mon/lhl/k15)

SUMBER : KALTIM POST, SELASA, 29 DESEMBER 2015

Artikel Terkait