RI Lebih Berpeluang Genjot Produksi CPO Ketimbang Malaysia
04 Oktober 2012
Admin Website
Artikel
5042
JAKARTA. Indonesia lebih berpeluang menggenjot produksi minyak sawit mentah
(crude palm oil/CPO) ketimbang Malaysia. Sebab Indonesia masih bisa
menambah lahan sawit hingga 16-17 juta ha, sementara Malaysia hanya 600
ribu ha.
Hanya saja,pemerintah Indonesia harus bekerja keras untuk memperbaiki permasalahan sawit nasional, terutama infrastruktur dah tenaga kerja.
Menurut Associate Director Food and Agribusiness Research and Advisory (FAR) Asia Pacific Rabobank
International
Pawan Kumar, saat ini lndonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar
dan masih berpeluang menggenjot produksinya disbanding Malaysia. Sejak
1970-2010, rata-rata perluasan kebun sawit di Indonesia 200-300 ribu ha
per tahun. Sedangkan Malaysia hanya 150 ribu ha per tahun.
"Indonesia
masih bisa menambah la han di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan di
Papua dan Jawa sama sekali belum tergarap. Sedangkan di Malaysia hanya
bisa menambah di Sarawak dansedikit sekali di Sabah," kata Pawan Kumar
pada acara RaboBank Annual Conference di Jakarta, Selasa (2/10).
Namun,
kata Pawan Kumar, ekspansi yang harus dijalankan industri sawit
Indonesia bukan tanpa masalah. Sejumlah tantangan harus ditaklukkan
Indonesia, mulai dari keterbatasan infrastruktur, ketersediaan tenaga
kerja, tingginya harga tanah, dan isu sosial yang cukup kompleks, juga
perlunya intervensi teknologi. Khusus untuk tenaga kerja, dalam industri
sawit, tenaga kerja adalah sebuah bisnis karena satu orang untuk
menangani 7-10 ha lahan.
"Dibutuhkan
best management pactices dan intervensi teknikal untuk mengatasi
persoalan krusial tersebut. Jika itu dilakukan maka Indonesia bisa
menutupi gap produksi antara Indonesia dan Malaysia," ungkap Kumar.
Dari
data yang dilansir Rabobank untuk 2011, Indonesia menguasai 49% total
produksi CPO dunia. Sedangkan Malaysia menguasai 36%, disusul oleh
Thailand 3%,Kolombia 2%, Nigeria 2%, Papua Nugini 1%, Ekuador 1%, dan negara lainnya 6%.
Kumar
juga mengatakan, anjloknya produksi kedelai di Amerika Serikat (AS)
akibat kekeringan diperkirakan menjadi salah satu pengerek harga CPO ke
depan. Harga CPO dunia saat ini sedang melemah di level US$ 1.250 per
ton. Permintaan terhadap CPO akan terdongkrak oleh meningkatnya
permintaan industri biodiesel yang bahan bakunya dari kedelai.
"Meski saat ini harga turun, harga CPO ke depan diperkirakan akan kembali tinggi karena meningkatnya
permintaan," ujar Kumar.
Menurut
dia, pengerek kenaikan harga CPO itu di antaranya karena anjloknya
produksi kedelai di AS juga berdampak terhadap produksi pakan ternak,
karena kedelai merupakan bahan baku utama. Selain itu, pasokan minyak
bunga matahari di AS selama 2012-2013 juga diramalkan turun. Itu juga
bisa menjadi salah satu faktor pengerek harga CPO dalam jangka panjang.
Di sisi lain, produksi kelapa sawit dalam negeri merosot karena pengaruh
iklim, sehingga pasokan berkurang.
Sementara
itu, Sekjen GAPKI Joko Supriyono mengatakan, pemerintah dan pengusaha
perlu bekerja sama mengembangkan industri kelapa sawit nasional.
Pertumbuhan industri sawit di Indonesia berkembang sangat pesat selama
beberapa dasawarsa terkhir.
"Industri kelapa
sawit di Indonesia mempekerjakan lebih dari 3 juta orang dan
menghasilkan laba ekspor US$ 16 miliar. Jadi perlu kedasama antara
pemerintah dan pengusaha untuk mengatasi persoalan yang ada," kata dia.
DIKUTIP DARI DAILY INVESTOR, RABU, 3 OKTOBER 2012
DIKUTIP DARI DAILY INVESTOR, RABU, 3 OKTOBER 2012