Moratorium Hutan Hambat Produksi Sawit Hingga 2 Juta Ton
23 Mei 2011
Admin Website
Artikel
3867
Jakarta -
Instruksi Presiden (Inpres) terkait moratorium (penundaan) izin kawasan
hutan alam dan gambut akan mengurangi potensi peningkatan produksi
sawit hingga 2 juta ton. Pemberlakuan moratorium ini juga akan berimbas
pada produksi sawit Indonesia hingga 5 tahun mendatang.
Hal ini disampaikan oleh Sekjen Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono kepada detikFinance, Jumat (20/5/2011)
"Impact secara ekonomis akan turun, kalau dua tahun ini terhambat pemerintah akan kehilangan opportunity selama 5 tahun mendatang," katanya.
Joko beralibi dengan adanya moratorium yang juga berlaku terhadap wilayah area penggunaan lain (APL) maka ekspansi perkebunan kelapa sawit hanya akan mencapai 250.000 hektar per tahun. Padahal dalam kondisi normal atau tanpa moratorium ekspansi perkebunan kelapa sawit bisa mencapai 500.000-600.000 hektar per tahun.
"Kalau setahun berkurang 250.000 hektar maka dalam dua tahun 500.000 hektar. Jika produksi 4 ton per hektar maka ada produksi 2 juta ton berkurang," tegasnya.
Menurut Joko, berdasarkan target pemerintah produksi sawit akan mencapai 40 juta ton (CPO) pada 2020, saat ini produksi hanya 22 juta ton. Jika mengacu dengan target itu maka diperlukan lahan hingga 12 juta ton dari saat ini hanya 8 juta hektar.
"Target 40 juta ton itu mungkin akan terganggu. Jadi moratorium itu walaupun dua tahun menghambat ekonomi," katanya.
Selain itu, menurut Joko moratorium akan berimbas pada pengurangan serapan tenaga kerja dari sektor sawit. Dalam keadaan normal dengan pertumbuhan ekspansi lahan 500.000-600.000 hektar per tahun, sektor sawit ini bisa menyerap 100-120.000 tenaga kerja baru.
"Impact 100.000 orang tenaga kerja akan hilang," katanya.
Dikatakan Joko ketentuan yang ada dalam Inpres moratorium ini dianggap masih belum terlalu tegas oleh kalangan LSM pecinta lingkungan. Meskipun dari sisi pelaku sektor sawit, inpres ini sudah sangat memukul pengusaha sawit termasuk perkebunan sawit rakyat.
"LSM tidak puas dengan inpres tersebut. LSM itu malah maunya hutan sekunder masuk moratorium itu lebih gila lagi. Kesannya Indonesia itu disuruh duduk manis, nggak usaha kerja minta-minta sama negara lain," katanya.
Seperti diketahui mulai hari ini penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut efektif berlaku. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, JUMAT, 20 MEI 2011
Hal ini disampaikan oleh Sekjen Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono kepada detikFinance, Jumat (20/5/2011)
"Impact secara ekonomis akan turun, kalau dua tahun ini terhambat pemerintah akan kehilangan opportunity selama 5 tahun mendatang," katanya.
Joko beralibi dengan adanya moratorium yang juga berlaku terhadap wilayah area penggunaan lain (APL) maka ekspansi perkebunan kelapa sawit hanya akan mencapai 250.000 hektar per tahun. Padahal dalam kondisi normal atau tanpa moratorium ekspansi perkebunan kelapa sawit bisa mencapai 500.000-600.000 hektar per tahun.
"Kalau setahun berkurang 250.000 hektar maka dalam dua tahun 500.000 hektar. Jika produksi 4 ton per hektar maka ada produksi 2 juta ton berkurang," tegasnya.
Menurut Joko, berdasarkan target pemerintah produksi sawit akan mencapai 40 juta ton (CPO) pada 2020, saat ini produksi hanya 22 juta ton. Jika mengacu dengan target itu maka diperlukan lahan hingga 12 juta ton dari saat ini hanya 8 juta hektar.
"Target 40 juta ton itu mungkin akan terganggu. Jadi moratorium itu walaupun dua tahun menghambat ekonomi," katanya.
Selain itu, menurut Joko moratorium akan berimbas pada pengurangan serapan tenaga kerja dari sektor sawit. Dalam keadaan normal dengan pertumbuhan ekspansi lahan 500.000-600.000 hektar per tahun, sektor sawit ini bisa menyerap 100-120.000 tenaga kerja baru.
"Impact 100.000 orang tenaga kerja akan hilang," katanya.
Dikatakan Joko ketentuan yang ada dalam Inpres moratorium ini dianggap masih belum terlalu tegas oleh kalangan LSM pecinta lingkungan. Meskipun dari sisi pelaku sektor sawit, inpres ini sudah sangat memukul pengusaha sawit termasuk perkebunan sawit rakyat.
"LSM tidak puas dengan inpres tersebut. LSM itu malah maunya hutan sekunder masuk moratorium itu lebih gila lagi. Kesannya Indonesia itu disuruh duduk manis, nggak usaha kerja minta-minta sama negara lain," katanya.
Seperti diketahui mulai hari ini penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut efektif berlaku. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, JUMAT, 20 MEI 2011