SAMARINDA. Bicara lahan, jelas
sawit menang telak. Data Dinas Perkebunan Kaltim menyebutkan, lahan
tanaman baku produksi minyak goreng ini disebut-sebut sudah menembus
bilangan juta hektare (Ha). Tepatnya, 1,2 juta Ha.
Pun dengan jumlah pabrik. Kepastian
bahan baku dalam waktu lebih panjang, menarik perusahaan membangun
infrastruktur pengolah minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).
Total, 61 pabrik sudah menampung tandan buah segara tanaman ini. Di
belakangnya, 26 pabrik mengantre beroperasi.
Jauh berbeda, di sektor hulu, kebun lada
hampir seluruhnya digarap mandiri oleh warga. Tanpa kebun inti milik
perusahaan tertentu, ataupun kebun produktif dari program kemitraan
seperti plasma.
Sejauh ini, hasil panen lada petani langsung dikirim ke luar Kaltim. Ada yang ke Jawa Timur, sebagian lainnya ke Sulawesi.
Padahal, menurut perhitungan ekonomis
bisnis ini, keuntungan dapat diserap praktis. Lihat saja, rata-rata
harga lada mentah saat ini di kisaran Rp 120-160 ribu per kilogram (kg).
Sementara per hektare (ha) kebunnya, memproduksi 900 kilogram per
tahun. Artinya, pebisnis dapat meraup pendapatan Rp 144 juta per tahun
dari 1 Ha lahan.
(silakan lihat infografis)
Belum lagi, bila lada mentah bisa disulap menjadi suatu produk. Jumlah biji
merica lebih
sedikit dalam produk itu dapat dijual dengan harga berlipat. Tentu cara
ini lebih menguntungkan. Namun faktanya, saat ini Kaltim hanya menjual
bahan mentah lada dari perkebunan rakyat.
Sebelumnya, Kaltim sempat menarik
investor pengolah hasil kebun ini. Yakni PT Matosa Indonesia. Produknya
dikenal dengan nama Merica Bubuk Ladaku. Namun, perusahaan tersebut
memutuskan hengkang, fokus mengolah pusat industri utama di Jawa Timur.
Kabid Produksi Dinas Perkebunan (Disbun)
Kaltim Sukardi menjelaskan, keberadaan lada di Kaltim saat ini adalah
berkeluhnya petani tentang sulitnya merawat lada. Tanaman ini memang
mesti diawasi sepanjang hari. Sehingga, pendampingan terhadap masyarakat
petani lada juga tak bisa sekadarnya.
"Saat ini UPTD Teknologi Terapan Perkebunan (T2P) Disbun Kaltim telah menciptakan produk balsem dari
lada, sayur dari lada muda, dan biji lada hitam dalam kemasan. Tapi, ini
tidak untuk dijual. Berbeda dengan Merica Bubuk Ladaku yang dipasarkan
di dalam dan luar negeri. Mereka memang telah berpindah ke Jawa Timur,
tapi masih mengambil lada mentah dari Kaltim," ungkapnya.
Terpisah, Ketua Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Kaltim Fauzi A Bachtar mengatakan, berkebun lada
tersebut sebenarnya prospeknya bagus. "Tapi, kenapa tak diusahakan?
Artinya ini ada kesalahan. Investor tak mungkin menolak berbisnis yang
berprospek bila pemerintah memberikan kemudahan," ujarnya.
Dengan kata lain, tambahnya, pemerintah
mempersulit investor, bahkan sampai membuatnya lari ke Jawa Timur. “Itu
pasti karena biaya operasional lebih murah bila dikerjakan di Jawa
Timur. Di Kaltim, biaya operasional mahal. Belum lagi ditambah pajak
dan biaya ini itu,” lanjut Fauzi, yang tak asing dengan bisnis lada.
Diterangkannya, hasil produksi sawit tak
sebanyak lada. Lada disebut Fauzi lebih banyak menghasilkan. Namun,
lada susah diurus. Petani-petani yang dulunya menggarap kebun lada, tak
berganti. Hanya pemain baru langsung menggarap kebun sawit, ditambah
dengan pihak swasta.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Logistik Kadin Kaltim Sevana Podung menilai,
support
pembiayaan dari bank untuk bisnis lada ini sangat kurang. Ditambah
lagi, lahan lada yang kemungkinan besar diambil perannya oleh tanaman
sawit. "Pengolahan industri lada di Kaltim tak ada, bagaimana mau
berkembang?" imbuhnya.
Wakil Ketua Bidang Investasi Kadin
Kaltim Alexander Sumarno menambahkan, dari sisi investasi, pengolahan
tanaman ini ini dianggap pemodal lebih strategis untuk merasa lebih
hidup di Jawa Timur. Biaya operasional yang murah dan kemudahan menjual
memang menjadi alasan.
"Investor tak mau lagi beroperasi di
Kaltim karena tak ditunjang fasilitas. Belum lagi, barang yang keluar
dari Kaltim sudah pasti menjadi lebih mahal," urainya.
Sebaiknya, lanjut Alex, investor diberi
insentif. Atau paling tidak, mempermudah perizinan dan fasilitas
penunjang. “Belum lagi biaya gaji pegawai. UMP (upah minimum provinsi)
di Kaltim jauh lebih mahal dibanding Jawa Timur. Kalau di sini harus
menggaji pegawai Rp 2 juta ke atas, sementara di Malang tempat
beroperasi PT Motasa Indonesia yang memproduksi Merica Bubuk Ladaku, UMK
mereka hanya berkisar Rp 1,3 juta. Sangat jauh menguntungkan di sana,”
tegasnya.
(man/k18)

SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016