Perangi Kampanye Hitam Sawit Lewat Buku
26 Mei 2016
Admin Website
Berita Daerah
4116
SAMARINDA. Upaya melawan kampanye hitam
bagi industri sawit semakin penting dilakukan. Itu dikarenakan peran
sektor ini yang kian strategis. Terlebih ditengah jatuhnya bisnis pertambangan dan
turunannya saat ini. Perkebunan dan industrialisasinya adalah paling
realistis menjadi alternatif.
Hal tersebut diungkapkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI). Perang melawan pencitraan buruk industri tanaman berjuluk kurma tropis itu dilakukan lewat peluncuran buku berjudul “Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan” di Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM).
Rektor UWGM, sekaligus fasilitator, Abdul Rochim mengatakan, mengembangkan industri kelapa sawit merupakan solusi paling rasional, jika Kaltim ingin bangkit dari keterpurukan karena tambang. Terutama, dalam menekan angka pengangguran yang tahun lalu bertambah puluhan ribu orang.
"Bersama pemerintah, civitas akademika memang harus mendukung bisnis kelapa sawit. Kami yakin, sektor inilah yang paling nyata manfaatnya bagi perekonomian di daerah," ucapnya di sela-sela bedah buku.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Gapki Kaltim M Sjah Djafar mengatakan, industri kelapa sawit adalah yang paling strategis di Benua Etam, bahkan di Indonesia. Sejauh ini, tanaman ini telah menyumbang devisa terbesar nasional, dengan rata-rata USD 20 miliar per tahun. Belum lagi, potensinya menjadi sumber energi dan terbarukan seperti biofuel, yang setidaknya akan menekan biaya impor solar sekitar 20 persen.
"Sosialisasi selalu kami lakukan guna menghapus kampanye negatif terhadap industri sawit ini. Karena, tak hanya pelaku usaha, pemerintahan pun juga mendapat tekanan keras untuk mengeluarkan kebijakan yang mengekang sektor ini," ungkap Djafar.
Dia menyebut, saat ini sudah banyak masyarakat, pejabat pemerintah, mahasiswa, akademisi, bahkan remaja, yang telah terperangkap dalam paradigma salah. Yakni menganggap bahwa sawit lebih dominan berdampak terhadap kerusakan ekosistem ketimbang memberikan manfaat.
"Pandangan keliru inilah yang merusak industri kelapa sawit. Sangat ironis untuk sektor yang sebenarnya sangat strategis," ujarnya.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Gapki Arif Purwoko menegaskan, tidak ada bisnis perkebunan yang merusak lingkungan. Apapun komoditasnya, kata dia, produksi perkebunan hanya bisa berkembang di daerah yang ekosistemnya bagus. Sehingga, jika lingkungan rusak, maka tanaman seperti sawit pun tak akan bisa berkembang.
"Sawit juga berperan menyerap polusi udara karbon dioksida, dan menghasilkan oksigen. Sama seperti tumbuhan lain," lanjutnya.
Di sisi lain, peran industri sawit juga sangat nyata untuk menyerap tenaga kerja di Kaltim. “Selain itu, sawit ini tumbuh masih hampir di setiap daerah di Kaltim, kecuali Bontang dan Balikpapan. Sehingga potensinya bisa digarap di banyak titik,” pungkas dia. (*/ctr/man2/k15)
SUMBER ; KALTIM POST, RABU, 25 MEI 2016
Hal tersebut diungkapkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI). Perang melawan pencitraan buruk industri tanaman berjuluk kurma tropis itu dilakukan lewat peluncuran buku berjudul “Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan” di Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM).
Rektor UWGM, sekaligus fasilitator, Abdul Rochim mengatakan, mengembangkan industri kelapa sawit merupakan solusi paling rasional, jika Kaltim ingin bangkit dari keterpurukan karena tambang. Terutama, dalam menekan angka pengangguran yang tahun lalu bertambah puluhan ribu orang.
"Bersama pemerintah, civitas akademika memang harus mendukung bisnis kelapa sawit. Kami yakin, sektor inilah yang paling nyata manfaatnya bagi perekonomian di daerah," ucapnya di sela-sela bedah buku.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Gapki Kaltim M Sjah Djafar mengatakan, industri kelapa sawit adalah yang paling strategis di Benua Etam, bahkan di Indonesia. Sejauh ini, tanaman ini telah menyumbang devisa terbesar nasional, dengan rata-rata USD 20 miliar per tahun. Belum lagi, potensinya menjadi sumber energi dan terbarukan seperti biofuel, yang setidaknya akan menekan biaya impor solar sekitar 20 persen.
"Sosialisasi selalu kami lakukan guna menghapus kampanye negatif terhadap industri sawit ini. Karena, tak hanya pelaku usaha, pemerintahan pun juga mendapat tekanan keras untuk mengeluarkan kebijakan yang mengekang sektor ini," ungkap Djafar.
Dia menyebut, saat ini sudah banyak masyarakat, pejabat pemerintah, mahasiswa, akademisi, bahkan remaja, yang telah terperangkap dalam paradigma salah. Yakni menganggap bahwa sawit lebih dominan berdampak terhadap kerusakan ekosistem ketimbang memberikan manfaat.
"Pandangan keliru inilah yang merusak industri kelapa sawit. Sangat ironis untuk sektor yang sebenarnya sangat strategis," ujarnya.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Gapki Arif Purwoko menegaskan, tidak ada bisnis perkebunan yang merusak lingkungan. Apapun komoditasnya, kata dia, produksi perkebunan hanya bisa berkembang di daerah yang ekosistemnya bagus. Sehingga, jika lingkungan rusak, maka tanaman seperti sawit pun tak akan bisa berkembang.
"Sawit juga berperan menyerap polusi udara karbon dioksida, dan menghasilkan oksigen. Sama seperti tumbuhan lain," lanjutnya.
Di sisi lain, peran industri sawit juga sangat nyata untuk menyerap tenaga kerja di Kaltim. “Selain itu, sawit ini tumbuh masih hampir di setiap daerah di Kaltim, kecuali Bontang dan Balikpapan. Sehingga potensinya bisa digarap di banyak titik,” pungkas dia. (*/ctr/man2/k15)
SUMBER ; KALTIM POST, RABU, 25 MEI 2016