Menyikapi Permintaan Pekebun Swadaya
10 November 2011
Admin Website
Artikel
4288
Saat ini tengah terjadi demam kelapa sawit. Sehingga banyak orang yang
ingin memiliki kebun kelapa sawit entah dalam skala kecil maupun
menengah secara swadaya. Persoalannya, mendapatkan benih dalam jumlah
kecil ternyata tidak mudah.
Sebagian besar sumber benih menetapkan jumlah minimal pemesanan, yakni umumnya 5000 butir kecambah. Pertimbangannya adalah untuk efisiensi administrasi dan mencegah terjadi pemalsuan dokumen, bukti legalitas benih. Karena jika diperbolehkan membeli 100 biji, dengan harga Rp. 6.000/ biji, maka seorang oknum sudah bisa mendapatkan sertifikat dan dokumen pendukung hanya dengan mengeluarkan dana sebesar Rp. 600.000,-. Kemudian surat-surat yang dipalsukan tersebut bisa digunakan menjual kecambah ilegal.
Hanya saja kondisi ini menyulitkan pekebun mendapatkan benih bermutu, mengingat saat ini kecenderngan yang terjadi, pengembangan sawit lebih banyak dilakukan perseorangan. Mengingat, pembangun kebun oleh perusahaan swasta semakin menurun akibat terbatasnya jumlah lahan dalam skala luas untuk membangun kebun kelapa sawit serta adanya moratorium pengembangan kelapa sawit yang membatasi pembangunan kebun kelapa sawit oleh swasta.
Secara kolektif kebutuhan benih saat ini masih cukup tinggi, namun dalam skala yang kecil-kecil, umumnya kurang dari 5000 kecambah. Jelas sumber benih tidak akan melayani kebutuhan dalam partai kecil.
Oleh sebab itu perlu peran serta pemerintah, khususnya Dinas Perkebunan Propinsi atau Kabupaten, untuk memfasilitasi permintaan benih masyarakat. Caranya dengan mengorganisirnya sehingga secara kolektif hingga lebih dari 5000 butir, dan selanjutnya menjadi penghubung dengan sumber benih. Ketika sumber benih mengalokasi benih maka pemerintah juga yang kemudian membagi-bagikan kecambah pada masyarakat.
Tanpa adanya upaya tersebut, akan sangat besar kemungkinan masyarakat menggunakan benih palsu karena benih unggul sulit didapat. Jika itu terjadi maka pada akhirnya pekebun akan dirugikan karena rendahnya produktivitas tanaman.
Sebagian besar sumber benih menetapkan jumlah minimal pemesanan, yakni umumnya 5000 butir kecambah. Pertimbangannya adalah untuk efisiensi administrasi dan mencegah terjadi pemalsuan dokumen, bukti legalitas benih. Karena jika diperbolehkan membeli 100 biji, dengan harga Rp. 6.000/ biji, maka seorang oknum sudah bisa mendapatkan sertifikat dan dokumen pendukung hanya dengan mengeluarkan dana sebesar Rp. 600.000,-. Kemudian surat-surat yang dipalsukan tersebut bisa digunakan menjual kecambah ilegal.
Hanya saja kondisi ini menyulitkan pekebun mendapatkan benih bermutu, mengingat saat ini kecenderngan yang terjadi, pengembangan sawit lebih banyak dilakukan perseorangan. Mengingat, pembangun kebun oleh perusahaan swasta semakin menurun akibat terbatasnya jumlah lahan dalam skala luas untuk membangun kebun kelapa sawit serta adanya moratorium pengembangan kelapa sawit yang membatasi pembangunan kebun kelapa sawit oleh swasta.
Secara kolektif kebutuhan benih saat ini masih cukup tinggi, namun dalam skala yang kecil-kecil, umumnya kurang dari 5000 kecambah. Jelas sumber benih tidak akan melayani kebutuhan dalam partai kecil.
Oleh sebab itu perlu peran serta pemerintah, khususnya Dinas Perkebunan Propinsi atau Kabupaten, untuk memfasilitasi permintaan benih masyarakat. Caranya dengan mengorganisirnya sehingga secara kolektif hingga lebih dari 5000 butir, dan selanjutnya menjadi penghubung dengan sumber benih. Ketika sumber benih mengalokasi benih maka pemerintah juga yang kemudian membagi-bagikan kecambah pada masyarakat.
Tanpa adanya upaya tersebut, akan sangat besar kemungkinan masyarakat menggunakan benih palsu karena benih unggul sulit didapat. Jika itu terjadi maka pada akhirnya pekebun akan dirugikan karena rendahnya produktivitas tanaman.
SUMBER : PENGAWAS BENIH TANAMAN