Saat ini tengah terjadi demam kelapa sawit. Sehingga banyak orang yang
ingin memiliki kebun kelapa sawit entah dalam skala kecil maupun
menengah secara swadaya. Persoalannya, mendapatkan benih dalam jumlah
kecil ternyata tidak mudah.
Sebagian besar sumber benih
menetapkan jumlah minimal pemesanan, yakni umumnya 5000 butir kecambah.
Pertimbangannya adalah untuk efisiensi administrasi dan mencegah
terjadi pemalsuan dokumen, bukti legalitas benih. Karena jika
diperbolehkan membeli 100 biji, dengan harga Rp. 6.000/ biji, maka
seorang oknum sudah bisa mendapatkan sertifikat dan dokumen pendukung
hanya dengan mengeluarkan dana sebesar Rp. 600.000,-. Kemudian
surat-surat yang dipalsukan tersebut bisa digunakan menjual kecambah
ilegal.
Hanya saja kondisi ini menyulitkan pekebun mendapatkan
benih bermutu, mengingat saat ini kecenderngan yang terjadi,
pengembangan sawit lebih banyak dilakukan perseorangan. Mengingat,
pembangun kebun oleh perusahaan swasta semakin menurun akibat
terbatasnya jumlah lahan dalam skala luas untuk membangun kebun kelapa
sawit serta adanya moratorium pengembangan kelapa sawit yang membatasi
pembangunan kebun kelapa sawit oleh swasta.
Secara kolektif
kebutuhan benih saat ini masih cukup tinggi, namun dalam skala yang
kecil-kecil, umumnya kurang dari 5000 kecambah. Jelas sumber benih
tidak akan melayani kebutuhan dalam partai kecil.
Oleh sebab
itu perlu peran serta pemerintah, khususnya Dinas Perkebunan Propinsi
atau Kabupaten, untuk memfasilitasi permintaan benih masyarakat.
Caranya dengan mengorganisirnya sehingga secara kolektif hingga lebih
dari 5000 butir, dan selanjutnya menjadi penghubung dengan sumber
benih. Ketika sumber benih mengalokasi benih maka pemerintah juga yang
kemudian membagi-bagikan kecambah pada masyarakat.
Tanpa
adanya upaya tersebut, akan sangat besar kemungkinan masyarakat
menggunakan benih palsu karena benih unggul sulit didapat. Jika itu
terjadi maka pada akhirnya pekebun akan dirugikan karena rendahnya
produktivitas tanaman.
SUMBER : PENGAWAS BENIH TANAMAN