Lahan Ulayat Jadi Kebun Sawit
07 Oktober 2010
Admin Website
Artikel
5671
SANGATTA – Masalah penggusuran lahan milik warga maupun
lahan yang digarap warga untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit
terus terjadi di Kutai Timur (Kutim). Terbaru, pengusuran itu terjadi di
Desa Tanjung Manis dan Benua Baru di Kecamatan Sangkulirang. Peralihan
fungsi lahan itu tanpa memperhatikan hak warga dan tanpa persetujuan.
Kejadian itu diungkapkan oleh Muhammad Darni, salah satu warga Desa Benua Baru yang bertemu dengan Kaltim Post di DPRD Kutim. Persoalan itu juga sudah diadukan ke DPRD Kutim untuk dibantu penyelesainnya.
“Warga berharap DPRD Kutim membantu menyelesaikan persoalan ini. Kami ingin hak-hak kami diberikan,” kata Darni, Rabu (6/10) kemarin.
Dipaparkan oleh Darni, lahan yang digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit itu mencapai 200 hektare. Sementara, lahan yang digarap oleh warga dan merupakan tanah ulayat itu luasanyanya mencapai 500 hektare.
Darni menambahkan, pada 16 JUni 2010 lalu, warga mendapatkan kabar bahwa pihak perusahaan sudah menguasai lahan secara sah. Perusahaan juga sudah membayarkan biaya imas tumbang (kompensasi) di atas Rp 175 juta. Sayangnya, uang itu justru tidak dinikmati oleh warga, tetapi dinikmati oleh oknum aparat pemerintahan setempat.
Status tanah garapan warga sejatinya adalah kawasan perkampungan lama yang sudah ditinggalkan. Di sana, banyak tanam tumbuh serta makam. Kawasan perkampungan lama itu masih digarap dan dimiliki secara turun temurun.
Status tanah itu juga masih disengketakan dan masih dalam pembahasan Pemkab Kutim. “Bagi kami juga terasa aneh. Tanah itu masih disengkatakan, tetapi sekarang kok bisa dimiliki perusahaan. Padahal, belum ada keputusan pemerintah,” tndas Darni.
Warga berharap hak-hak warga atas kepemilihan tanah ulayat itu ditunaikan oleh pihak perusahaan. Tanam tumbuh milik warga harus dinilai dan dibayarkan kepada warga. “Kami juga berharap DPRD segera memproses pengaduan kami,” pungkasnya.
Kejadian itu diungkapkan oleh Muhammad Darni, salah satu warga Desa Benua Baru yang bertemu dengan Kaltim Post di DPRD Kutim. Persoalan itu juga sudah diadukan ke DPRD Kutim untuk dibantu penyelesainnya.
“Warga berharap DPRD Kutim membantu menyelesaikan persoalan ini. Kami ingin hak-hak kami diberikan,” kata Darni, Rabu (6/10) kemarin.
Dipaparkan oleh Darni, lahan yang digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit itu mencapai 200 hektare. Sementara, lahan yang digarap oleh warga dan merupakan tanah ulayat itu luasanyanya mencapai 500 hektare.
Darni menambahkan, pada 16 JUni 2010 lalu, warga mendapatkan kabar bahwa pihak perusahaan sudah menguasai lahan secara sah. Perusahaan juga sudah membayarkan biaya imas tumbang (kompensasi) di atas Rp 175 juta. Sayangnya, uang itu justru tidak dinikmati oleh warga, tetapi dinikmati oleh oknum aparat pemerintahan setempat.
Status tanah garapan warga sejatinya adalah kawasan perkampungan lama yang sudah ditinggalkan. Di sana, banyak tanam tumbuh serta makam. Kawasan perkampungan lama itu masih digarap dan dimiliki secara turun temurun.
Status tanah itu juga masih disengketakan dan masih dalam pembahasan Pemkab Kutim. “Bagi kami juga terasa aneh. Tanah itu masih disengkatakan, tetapi sekarang kok bisa dimiliki perusahaan. Padahal, belum ada keputusan pemerintah,” tndas Darni.
Warga berharap hak-hak warga atas kepemilihan tanah ulayat itu ditunaikan oleh pihak perusahaan. Tanam tumbuh milik warga harus dinilai dan dibayarkan kepada warga. “Kami juga berharap DPRD segera memproses pengaduan kami,” pungkasnya.
DIKUTIP DARI KALTIM POST, KAMIS, 7 OKTOBER 2010