
SAMARINDA. Kendati produksinya kian meningkat
setiap tahun, namun komoditas karet belum memiliki sentra pengolahan di
Kalimantan Timur. Berbagai masalah di level hulu industri, membuat
komoditas ini terpaksa diekspor dalam keadaan mentah.
Dinas Perkebunan mencatat, dengan luas lahan lebih dari 103 ribu
hektare (ha) pada 2013 lalu, produksi karet di Kaltim mencapai 59.963
ton. Dengan kata lain, produktivitas tanaman ini mencapai 1.191 kilogram
(kg)/ha.
Menilik penyebarannya, Kutai Barat menjadi daerah penghasil karet
terbesar dengan produksi mencapai 35.278 ton. Dengan luasan lahan yang
hanya 34.421 ha, produktivitas di daerah ini pun tercatat yang paling
tinggi, yakni 1.620 kg/ha.
Meski secara statistik menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun
terakhir, pengolahan karet Kaltim rupanya masih bergantung pada daerah,
bahkan negara lain. Selain terkendala infrastruktur, kendala juga datang
dari masalah kemitraan masyarakat dengan perusahaan.
"Crumb rubber dengan standar ekspor sebenarnya sudah ada di
Kubar. Di samping masalah internal manajemen perusahaan, aksi tengkulak
di sana masih marak. Inilah yang merusak kemitraan antara keluarga tani
dengan pabrik," jelas Kepala Bidang Usaha Disbun Kaltim M Yusuf.
Akibatnya, lanjut dia, hampir seluruh hasil produksi karet Kaltim saat
ini terpaksa dipasok ke Makassar dan Tawau, Malaysia untuk tahap
hilirisasi. "Terpaksa diekspor mentah. Di sana ada produksi bubuk hingga
pasta, yang juga memanfaatkan tanaman ini," lanjut dia.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pohon Karet PPU Tri Yuwono menyebut bahwa
Kaltim seharusnya memiliki pabrik karet sendiri. Dia menyebut, Penajam
Paser Utara (PPU) sebagai titik representatif sebagai sentra hilirisasi
komoditas tersebut.
"Produksi karet di Kaltim bisa 500 ton per hari. Provinsi ini layak
memiliki pabrik. Dari beberapa kabupaten penghasil karet, PPU saya rasa
paling layak karena posisinya di tengah-tengah daerah lain," tuturnya.
Dari luasan 10.922 hektare pada tahun lalu, dia mengungkapkan bahwa
lahan karet di PPU kini telah mencapai 15 ribu ha. Tambahan produksi
dari daerah potensial seperti Kubar dan lainnya, disebut Yuwono sebagai
alasan Kaltim harus memiliki pabrik karet sendiri. Jika pasarnya bagus,
dia memastikan bahwa petani tanaman ini harusnya bisa hidup sejahtera.
"Untuk harga karet berkualitas biasa atau disebut lem adalah Rp 7.000
per kg. Sementara, kualitas sedang Rp 10.000 per kg, dan mencapai Rp
40.000 per kg untuk yang super. Jika pabrik karet dibangun, ekonomi
daerah akan bergerak, belum lagi banyaknya tenaga kerja yang terserap,"
tukasnya. (*/man/tom/k15)
SUMBER: KALTIM POST, RABU, 10 SEPTEMBER 2014