Jakarta -
Perusahaan-perusahaan sawit besar yang terhimpun dalam Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprotes Instruksi Presiden
(Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang moratorium (penundaan) Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Gapki mendesak presiden agar melakukan penundaan terhadap keputusan
"Gapki
menyayangkan bahwa Inpres ini tidak sepenuhnya mengakomodasi aspirasi
dari industri sawit yang merupakan salah satu industri yang strategis
dan penting dalam ekonomi Indonesia," kata Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M Fadhil Hasan dalam keterangan
tertulisnya, Minggu (22/5/2011)
Fadhil mengatakan bahwa Inpres
ini bersifat diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada
beberapa aktivitas ekonomi yaitu : geothermal, minyak dan gas bumi,
ketenaga listrikan, lahan untuk padi dan tebu. Sementara aktivitas
industri lain seperti sawit tertutup kesempatannya dalam berekspansi
padahal sektor ini vital dan strategis bagi ekonomi.
Ia juga
mengatakan lahirnya inpres ini juga berpotensi konflik dengan peraturan
perundang-undangan lain seperti misalnya undang-undang No 41 Tahun 1999
tentang kehutanan. Bahkan dalam inpres ini bertabrakan dengan Keppres
No. 32 tahun 1990 maupun Permentan No 14/2009 membolehkan penggunaan
lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter.
"Bahwa
ketentuan tentang 'peta indikatif penundaan ijin baru' dapat menimbulkan
dispute dengan 'RTRW' yang justru akan menimbulkan persoalan baru,"
ucapnya.
Pihaknya menyayangkan bahwa moratorium itu tidak
mengatur pemanfaatan lahan-lahan hutan terdegradasi yang dapat digunakan
untuk aktivitas perekonomian. Padahal didalam Letter of Intent (LoI)
yang ditandatangani oleh Presiden, selain moratorium pemerintah juga
diharuskan untuk mengidentifikasi lahan terdegradasi yang dapat
digunakan untuk aktivitas ekonomi.
"Oleh karena itu, Gapki
meminta agar pemerintah agar menunda implementasi Inpres ini dan segera
mengeluarkan instruksi Presiden tentang pemanfaatan (prosedur) lahan
terdegradasi sesuai dengan Letter of Intent (LoI)," katanya.
Seperti
diketahui mulai 20 Mei 2011 penerapan moratorium (penundaan) terhadap
pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut berlaku efektif. Moratorium
ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres)
No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini
berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut
di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan
pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut
yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan
produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang
dapat dikonversi) dan area penggunaan lain. Atas Moratorium itu
Indonesia mendapatkan komitmen kucuran dana hingga US$ 1 miliar dari
Norwegia.
"Dana yang Us$ 30 juta sudah cair dan saat ini sudah
ditangan UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga yang
ditunjuk sebagai pengelola dana," jelas Staf Khusus Presiden Bidang
Perubahan Iklim Agus Purnomo beberapa waktu lalu.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, MINGGU, 22 MEI 2011