Indonesia Berpeluang Kuasai Pasar Kakao
JEMBER, KOMPAS.com - Gejolak politik dalam negeri Pantai Gading membuka peluang petani kakao Indonesia untuk meningkatkan pendapatan. Untuk itu, petani perlu meningkatkan produksi dan kualitas kakao sesuai standar nasional maupun internasional.
Akhir-akhir ini banyak pengusaha industri kakao Eropa dan Amerika mulai melirik kakao Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mengupayakan produksi kakao petani agar dapat memenuhi harapan pembeli dan memenuhi standar kualitas.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Usaha Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Suryo Wardani kepada Kompas di Jember, Jawa Timur, Kamis (28/7/2011). "Sebagai penghasil kakao terbesar kedua dunia, setelah Pantai Gading, Indonesia harus bisa merebut peluang pasar ini," kata Suryo Wardhani.
Selama dua tahun terakhir, 2009-2010, Puslit Kopi dan Kakao Indonersia telah menyalurkan sebanyak 36 juta planlet kakao klonal untuk mendukung program gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao.
Suryo mengatakan, produksi kakao Indonesia telah mengalami lompatan sangat besar sehingga mampu menyalip Ghana. Produksi kakao kering Indonesia sebanyak 800.000 ton setahun. Adapun Pantai Gading masih bertahan di urutan pertama dengan produksi 1,1 juta hingga 1,2 juta ton.
Situasi politik Pantai Gading sekarang kurang kondusif, maka pemilik industri kakao dunia mulai melirik negara lain, termasuk Indonesia. Ini harus ditangkap sebagai peluang untuk pengembangan pasar dan peningkatan produksi kakao nasional.
Permintaan kakao dunia akan terus meningkat, sementara persediaan tidak beranjak naik. Kini banyak petani yang berswadaya memperluas areal tanaman kakao karena prospek ke depan sangat baik.
Daerah penghasil kakao terbanyak di Indonesia hanya ada di empat provinsi, yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang menguasai 70 persen produksi nasional. "Masih banyak daerah belum memanfaatkan peluang ini, seperti Kalimantan Timur dan beberapa daerah lain," kata Suryo Wardhani.
Ia mengakui, kualitas kakao ditentukan oleh perilaku petani. Jika petani bersedia menambah waktu untuk mefermentasi kakao, maka akan dapat nilai tambah Rp 5.000 per kilogram. Harga kakao kering tanpa fermentasi Rp 20.000 per kilogram dan perusahaan perkebunan besar menjual kakao fermentasi Rp 25.000 per kilogram.
"Kakao
fermentasi bisa meningkatkan cita rasa dan aroma kakao. Amerika mau
beli kakao yang tidak difermentasi, Eropa justru pilih kakao yang
difermentasi," kata Suryo Wardhani.
DIKUTIP DARI KOMPAS, KAMIS, 28 JULI 2011