Ekspor Sawit ke India Terancam
MUMBAI. Indonesia bisa kehilangan pasar di India jika pemerintah tidak segera
melakukan negosiasi bilateral. Pasalnya, negara tersebut memberlakukan
bea masuk hingga dua kali lipat terhadap komoditas minyak sawit mentah
(CPO) dan produk olahan minyak sawit.
Padahal, saat ini India adalah pasar minyak sawit terbesar bagi
Indonesia. “Selain pasar yang besar, India juga bukan pasar yang rewel
menuntut berbagai macam kriteria keberlanjutan, seperti Eropa atau
Amerika. Sayang jika kita kehilangan pasar yang demikian potensial,”
kata Ketua Umum GAPKI Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki),
Joko Supriyono, dalam Indonesia-India Business Forum on Palm Oil di
Mumbai, Rabu (13/9).
Agustus lalu, Kementerian Keuangan India mengumumkan negara
meningkatkan bea masuk CPO menjadi 15 persen. Padahal sebelumnya tarif
bea masuk CPO adalah 7,5 persen. Pajak impor minyak kelapa sawit olahan
juga meningkat menjadi 17,5 dan 25 persen, dari sebelumnya 12,5 serta
15 persen. Kenaikan bea masuk ini bisa menurunkan ekspor minyak sawit
Indonesia ke India.
Joko Supriyono mengatakan, saat ini Indonesia mencatat surplus neraca
perdagangan dengan India. Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu
memerhatikan masalah ini lebih serius.
“Ini harus terus diperkuat misalnya dengan perjanjian perdagangan
bilateral. Sehingga isu-isu terkait tarif bisa dibahas dan disepakati
secara komprehensif,” kata Joko.
Dalam kesempatan yang sama, Executive Director Solvent Extractors
Association, BV Mehta menyampaikan, kenaikan bea masuk yang diberlakukan
India tersebut akan memengaruhi ekspor minyak sawit ke India. India
adalah pasar ekspor minyak sawit terbesar.
Tahun lalu, ekspor minyak sawit ke Negeri Bollywood ini mencapai 5,7
juta ton. “Tahun 2017 ekspor ke India bisa mencapai lebih dari 6 juta
ton,” ucap Mehta.
Langkah India ini, kata Mehta, sebenarnya lebih ditujukan agar
Indonesia merevisi pajak ekspor CPO yang relatif tinggi. Akibat dari
pajak ekspor Indonesia, harga CPO di pasar India tidak kompetitif
terhadap refined product sehingga tidak ada margin. “Akibatnya mereka lebih memilih soft oil (soya, sunflower, rapeseed) yang memiliki margin lebih bagus,” ujarnya.
Sejak pemberlakuan pajak ekspor sawit di Indonesia, dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan market share palm oil di pasar India dibandingkan soft oil. Jika 2011 lalu palm oil menguasai sekitar 80 persen, dan sisanya soft oil. Tahun lalu, palm oil hanya menguasai sekitar 70 persen market share, dan share soft oil naik menjadi 30 persen.
Walaupun secara volume ekspor Indonesia stabil, tapi market share terhadap soft oil
turun. Ini artinya pertumbuhan konsumsi di pasar India tak bisa diambil
Indonesia. “Indonesia akan kehilangan pasar di India sekarang dan pada
masa mendatang,” kata Mehta. (man2/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SABTU, 16 SEPTEMBER 2017