Transformasi Ekonomi Hijau “Harus”
28 September 2017
Admin Website
Berita Daerah
3929
SAMARIINDA. Gubernur Awang Faroek Ishak mengatakan
tidak ada pilihan bagi Kaltim, selain melakukan transformasi ekonomi.
Menurut Gubernur, suka atau tidak suka pilihan itu harus tetap diambil.
Pasalnya Kaltim sudah cukup ‘tersiksa’ saat terjadi kontraksi harga
dunia pada komoditas-komoditas minyak dan gas bumi, maupun batubara.
“Transformasi ekonomi Kaltim harus dilakukan. Struktur ekonomi Kaltim dalam tiga dekade terakhir masih terlalu dominan bergantung pada kekuatan sumber daya alam tak terbarukan. Sehingga saat terjadi kontraksi pada kekuatan-kekuatan ekonomi itu, struktur APBD Kaltim pun terpengaruh sangat signifikan,” kata Awang Faroek saat membuka Sosialisasi Nationally Determined Contributions (NDC), bertajuk Peran Daerah dalam Pencapaian Target NDC di Kaltim, di Balikpapan, Selasa (26/9).
Kaltim sangat merasakan dampak buruk perlambatan ekonomi global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu kata Awang, jika kita hanya bergantung pada ekstraksi sumber daya alam tak terbarukan minyak dan gas bumi, serta batu bara tentu di masa depan perekonomian Kaltim akan rentan goncangan dan semakin sulit.
Lebih jauh dipaparkan Awang, beberapa tahun lalu APBD Kaltim mampu menembus nominal Rp15 triliun, tapi saat sekarang hanya tertinggal hanya sekitar Rp8 triliun. “Kita tidak mungkin terus bergantung pada kekuatan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui. kita harus melakukan transformasi ekonomi. Suka tidak suka, mau tidak mau, harus kita lakukan,” tegas Awang.
Kaltim sangat berkomitmen untuk menjaga hutan dan kelestarian lingkungan. Berbagai kebijakan dan kesepakatan stake holder daerah diarahkan untuk dapat mengamankan hutan primer, hutan lindung, hutan konservasi dan berbagai kawasan strategis nasional lainnya di Kaltim.
Transformasi ekonomi Kaltim dipilih dengan pembangunan pertanian dalam arti luas dan memberi poin khusus pada pengembangan agribisnis, terutama perkebunan kelapa sawit. Pijakan dasarnya sambung Awang, agar pembangunan harus tetap berjalan untuk percepatan pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun lingkungan hidup tetap terjaga dengan baik.
Dengan cara ini pula, Kaltim pun telah menunjukkan komitmennya untuk membantu kampanye pembangunan rendah emisi karbon dengan membangun struktur kokoh ekonomi hijau berkelanjutan. Hal ini sangat sejalan dengan pembahasan isu-isu pembangunan rendah emisi dan isu lingkungan hijau yang dibahas dalam Governors’ Climate Forest and Task Force (GCF) 2017 yang saat ini sedang berlangsung di Balikpapan.
“Kaltim akan terus bekerja keras untuk dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan, namun di sisi yang lain akan tetap membangun demi menyiapkan masa depan Kalimantan Timur yang lebih baik,” jelas Awang. Tantangan Kaltim ke depan bukan hanya pada persoalan ketergantungan pada kekuatan sumber daya alam tak terbarukan, namun juga akan sangat erat kaitannya dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup akibat eksploitasi pertambangan, khususnya batu bara.
Terkait kerusakan lingkungan ini, Gubernur Awang Faroek memberikan kritik pedas. Menurutnya, kerusakan terjadi terhadap hutan akibat investor yang tidak konsisten dengan mining agreement mereka. Banyak tambang yang tidak direklamasi dan meninggalkan lubang-lubang tambang membahayakan. Kerusakan lingkungan tidak terhalang, sementara daerah tidak memiliki kekuatan besar untuk mencegah kerusakan hutan berlangsung akibat kewenangan sesungguhnya berada di pemerintah pusat.
“Saya tanya, apakah ada areal tambang yang tidak merusak hutan?” tanya Awang, yang kemudian disambut ratusan peserta sosialisasi dengan jawaban kompak, “tidak ada”. “Lalu kita menyalahkan perusahaan. Padahal yang salah kita sendiri. Pemerintah pusat dan daerah. Mengapa tidak selektif memberikan pinjam pakai lahan,” kunci Gubernur.
Dia berharap, pusat memberi kepercayaan kepada bupati dan walikota, terutama gubernur untuk bisa mengatur tata ruang wilayahnya sehingga tidak ada CnC sepihak. Yaitu, Clean and Clear hanya diatas kertas dari Kementerian ESDM. Sebab pada akhirnya daerah ‘dipaksa’ untuk menerima dan harus mengamankan kebijakan pusat. Sejauh ini memang ada jaminan reklamasi, tapi sampai hari ini pun belum bisa dilaksanakan dengan baik. Seharusnya setiap pelanggar dikenakan penalti agar segera melakukan reklamasi dan revegetasi.
Awang juga menyoal pendekatan pusat yang dilakukan tidak melewati gubernur. “Tiba-tiba sudah banyak yang keluar perijinan tambang yang disebut CnC, sementara kami diminta untuk mengamankan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya. Tentu ini tidak adil bagi kami. Itulah kritikan saya,” tutup Awang. Sosialisasi NDC juga dihadiri Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin dan ratusan undangan lainnya dari berbagai stake holder di Kaltim dan nasional, termasuk NGO dan penggiat lingkungan. (sul/ri/humasprov)
SUMBER : SEKRETARIAT
“Transformasi ekonomi Kaltim harus dilakukan. Struktur ekonomi Kaltim dalam tiga dekade terakhir masih terlalu dominan bergantung pada kekuatan sumber daya alam tak terbarukan. Sehingga saat terjadi kontraksi pada kekuatan-kekuatan ekonomi itu, struktur APBD Kaltim pun terpengaruh sangat signifikan,” kata Awang Faroek saat membuka Sosialisasi Nationally Determined Contributions (NDC), bertajuk Peran Daerah dalam Pencapaian Target NDC di Kaltim, di Balikpapan, Selasa (26/9).
Kaltim sangat merasakan dampak buruk perlambatan ekonomi global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu kata Awang, jika kita hanya bergantung pada ekstraksi sumber daya alam tak terbarukan minyak dan gas bumi, serta batu bara tentu di masa depan perekonomian Kaltim akan rentan goncangan dan semakin sulit.
Lebih jauh dipaparkan Awang, beberapa tahun lalu APBD Kaltim mampu menembus nominal Rp15 triliun, tapi saat sekarang hanya tertinggal hanya sekitar Rp8 triliun. “Kita tidak mungkin terus bergantung pada kekuatan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui. kita harus melakukan transformasi ekonomi. Suka tidak suka, mau tidak mau, harus kita lakukan,” tegas Awang.
Kaltim sangat berkomitmen untuk menjaga hutan dan kelestarian lingkungan. Berbagai kebijakan dan kesepakatan stake holder daerah diarahkan untuk dapat mengamankan hutan primer, hutan lindung, hutan konservasi dan berbagai kawasan strategis nasional lainnya di Kaltim.
Transformasi ekonomi Kaltim dipilih dengan pembangunan pertanian dalam arti luas dan memberi poin khusus pada pengembangan agribisnis, terutama perkebunan kelapa sawit. Pijakan dasarnya sambung Awang, agar pembangunan harus tetap berjalan untuk percepatan pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun lingkungan hidup tetap terjaga dengan baik.
Dengan cara ini pula, Kaltim pun telah menunjukkan komitmennya untuk membantu kampanye pembangunan rendah emisi karbon dengan membangun struktur kokoh ekonomi hijau berkelanjutan. Hal ini sangat sejalan dengan pembahasan isu-isu pembangunan rendah emisi dan isu lingkungan hijau yang dibahas dalam Governors’ Climate Forest and Task Force (GCF) 2017 yang saat ini sedang berlangsung di Balikpapan.
“Kaltim akan terus bekerja keras untuk dapat tetap menjaga kelestarian lingkungan, namun di sisi yang lain akan tetap membangun demi menyiapkan masa depan Kalimantan Timur yang lebih baik,” jelas Awang. Tantangan Kaltim ke depan bukan hanya pada persoalan ketergantungan pada kekuatan sumber daya alam tak terbarukan, namun juga akan sangat erat kaitannya dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup akibat eksploitasi pertambangan, khususnya batu bara.
Terkait kerusakan lingkungan ini, Gubernur Awang Faroek memberikan kritik pedas. Menurutnya, kerusakan terjadi terhadap hutan akibat investor yang tidak konsisten dengan mining agreement mereka. Banyak tambang yang tidak direklamasi dan meninggalkan lubang-lubang tambang membahayakan. Kerusakan lingkungan tidak terhalang, sementara daerah tidak memiliki kekuatan besar untuk mencegah kerusakan hutan berlangsung akibat kewenangan sesungguhnya berada di pemerintah pusat.
“Saya tanya, apakah ada areal tambang yang tidak merusak hutan?” tanya Awang, yang kemudian disambut ratusan peserta sosialisasi dengan jawaban kompak, “tidak ada”. “Lalu kita menyalahkan perusahaan. Padahal yang salah kita sendiri. Pemerintah pusat dan daerah. Mengapa tidak selektif memberikan pinjam pakai lahan,” kunci Gubernur.
Dia berharap, pusat memberi kepercayaan kepada bupati dan walikota, terutama gubernur untuk bisa mengatur tata ruang wilayahnya sehingga tidak ada CnC sepihak. Yaitu, Clean and Clear hanya diatas kertas dari Kementerian ESDM. Sebab pada akhirnya daerah ‘dipaksa’ untuk menerima dan harus mengamankan kebijakan pusat. Sejauh ini memang ada jaminan reklamasi, tapi sampai hari ini pun belum bisa dilaksanakan dengan baik. Seharusnya setiap pelanggar dikenakan penalti agar segera melakukan reklamasi dan revegetasi.
Awang juga menyoal pendekatan pusat yang dilakukan tidak melewati gubernur. “Tiba-tiba sudah banyak yang keluar perijinan tambang yang disebut CnC, sementara kami diminta untuk mengamankan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya. Tentu ini tidak adil bagi kami. Itulah kritikan saya,” tutup Awang. Sosialisasi NDC juga dihadiri Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin dan ratusan undangan lainnya dari berbagai stake holder di Kaltim dan nasional, termasuk NGO dan penggiat lingkungan. (sul/ri/humasprov)
SUMBER : SEKRETARIAT