Sektor Pertanian Mesti Diproteksi
09 Oktober 2014
Admin Website
Berita Daerah
3714
SAMARINDA. Lemahnya harga Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit di Kaltim Oktober tahun ini, yang jatuh pada level Rp
1.469,45 per kilogram (Kg) untuk usia 10-25 tahun adalah titik terendah
selama tahun 2014. Petani, tentulah yang paling dirugikan.
Dua Pengamat Ekonomi Makro Universitas Mulawarman (Unmul) Zamruddin Hasid dan Aji Sofyan Effendi pun sependapat, penurunan harga TBS akan menyengsarakan petani. Pasalnya, penurunan pada Oktober tahun ini menjadi yang terbesar, yakni mencapai Rp 224,80 per Kg, dari harga September yang ditetapkan Rp 1.694,25 per Kg. Tren negatif ini terjadi berturut-turut sejak enam bulan lalu, sejak Mei. Kenaikan harga terakhir terjadi April lalu, yang masih menyentuh Rp 1.882,49 per kilogram.
Selain di level hulu, penurunan harga hasil produksi kelapa sawit juga terjadi pada crude palm oil (CPO). Sempat membaik pada Agustus lalu hingga USD 870 per metrik ton, Oktober ini, harga CPO global kembali jatuh ke USD 726 per metrik ton. "Yang terkena imbasnya secara langsung di sektor pertanian adalah para petani," ucap Aji Sofyan.
Kata dia, penurunan TBS bisa dilihat dampaknya ke petani melalui daya beli masyarakat terhadap kebutuhan. Berpengaruh atau tidak? "Saya rasa tak memiliki pengaruh karena merupakan kebutuhan hidup," ujarnya.
Namun demikian, lanjut dia, TBS hanyalah sebagian kecil dari sektor pertanian yang ada di Kaltim. Artinya, secara makro tak akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Kaltim. Dapat dikatakan, hanya memiliki pengaruh kecil dan merugikan petani. Di Kaltim yang berpengaruh bagi PDRB adalah sektor tambang, minyak dan gas (migas).
"Tipikal industri Kaltim masih bergerak di hulu. Artinya belum ada produk nyata yang bisa dihasilkan, hanya mengekspor bahan baku ke daerah lain lantas mengimpor hasilnya," jelas Aji Sofyan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih dipengaruhi oleh sektor tambang dan migas pun begitu dengan Kaltim. Tipe ekonomi Kaltim bukan dari sisi pertanian.
"Saya berharap bisa terjadi pergeseran ke sektor pertanian," sebutnya.
Kendati demikian, sambung dia, yang menjadi masalah ialah lahan pertanian sekarang kian sempit lantaran eksploitasi tambang, bisnis properti, dan laju pertumbuhan penduduk.
"Bila ingin berkembang harus ada proteksi terhadap sektor ini (pertanian dan perkebunan)," katanya.
Terkait penurunan harga TBS bagi psikis investor, Aji Sofyan berpendapat hal tersebut merupakan tantangan bagi pengusaha untuk mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan agar bisa bersaing dengan sektor lain, terutama tambang dan migas. "Kalau bisa bersaing otomatis sektor pertambangan bisa tergantikan dan tak perlu takut bila sumber daya tersebut habis karena dikeruk," terangnya.
Dia menambahkan, untuk masalah regulasi dari pemerintah tak perlu dipusingkan. Yang menjadi persoalan ialah tersedianya fasilitas bagi para investor sebab itu merupakan syarat untuk menarik perhatian penanam modal. "Air bersih, listrik, dan infrastruktur adalah jawabannya," tegas Aji Sofyan.
Terpisah, Zamruddin Hasid pun mengutarakan hal yang tak jauh berbeda. Penurunan harga TBS secara makro tak memiliki pengaruh yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi di Kaltim. Pun begitu dengan daya beli petani.
"Saya pikir bagi PDRB sektor pertanian tak terlalu ikut andil. Yang memiliki pengaruh besar adalah sektor pertambangan," sebutnya.
Menurut Zamruddin, sektor pertanian dan perkebunan memiliki pasar sendiri. Yang menjadi masalah ialah land clearing.
"Harga TBS ini kan fluktuatif dan biasanya tidak berlangsung lama. Saya pikir dua bulan ke depan sudah normal," tandasnya.
Sependapat dengan Aji Sofyan, rektor Unmul ini juga mengutarakan hal sama mengenai iklim investasi di Kaltim. Utamanya, pemerintah harus bisa menyediakan stimulator. "Ya, harus lengkap dari sisi air bersih, listrik, dan infrastruktur. Jika bandara tersebut selesai dibangun pasti investasi di Kaltim semakin ramai," tukasnya.
Terpisah, ditanya mengenai langkah terdekat mengantisipasi dampak dari tren negatif harga komoditas unggulan Kaltim ini, Asisten II Setprov Kaltim M Sa’bani enggan berkomentar banyak. Dia menyatakan hal tersebut sudah menjadi tugas instansi terkait. "Untuk CPO, silakan ke Disbun," jawabnya.
Sebelumnya, nada optimistis terlontar dari Pemprov Kaltim terkait sektor pertanian ini. Meski belum menunjukkan peran signifikan, Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setprov Kaltim Budi Pranowo mengatakan, pertanian secara luas tetap akan menjadi sektor andalan Kaltim pada masa mendatang.
"Investor tak punya pilihan lain. Hanya di pertanian mereka bisa mengembangkan modal nanti, karena pertambangan pasti akan habis," katanya.
Lesunya perekonomian Kaltim pun, lanjut Budi, bukan disebabkan menurunnya aktivitas moneter maupun produktivitas daerah, melainkan, karena pelemahan ekonomi global.
"Kita tidak bisa menghindari dampak global. Tapi, dari dalam, Kaltim masih kuat. Maka dari itulah, pemerintah masih terus membangun dalam segala hal, terutama infrastruktur untuk menunjang industri pertanian pada masa mendatang," urainya.
Seperti diberitakan, mengikuti lesunya penjualan crude palm oil (CPO) global, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Kaltim kembali merosot Oktober ini. Jatuh pada level Rp 1.469,45 per kilogram (kg) untuk usia 10-25 tahun, angka tersebut merupakan yang terendah untuk tahun ini.
Sekadar informasi, penurunan pada Oktober ini pun menjadi yang terbesar, yakni mencapai Rp 224,80 per kg, dari harga September yang ditetapkan Rp 1.694,25 per kg. Tren negatif ini terjadi berturut-turut sejak enam bulan lalu, sejak Mei. Kenaikan harga terakhir terjadi April lalu, yang masih menyentuh Rp 1.882,49 per kilogram.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) kaltim yang diwakili Kepala Bidang Usaha Mohammad Yusuf mengatakan, kembali jatuhnya harga TBS ini merupakan dampak dari belum membaiknya permintaan CPO global. Sementara di sisi lain, produksi bahan baku terus meningkat. (*/ypl/man/lhl)
SUMBER : KALTIM POST, SELASA, 7 OKTOBER 2014