Peringatan Dini Sawit Rakyat
TAHUN
delapan puluhan, masyarakat Paser mulai diperkenalkan tanaman sawit
oleh PT PN VI sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
di bidang perkebunan. Masyarakat setempat diajak untuk turut serta
dalam kegiatan perkebunan dengan pola inti plasma. Awalnya cukup sulit
meyakinkan masyarakat lokal untuk turut serta dalam plasma. Sehingga
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan trans plasma terpaksa harus
mendatangkan transmigran yang sebagian besar dari pulau Jawa.
Dalam perkembangannya, masyarakat lokal baru menyadari bahwa komditi
yang satu ini cukup menjanjikan. Bahka memberikan harapan sebagai salah
satu sumber penghasilan untuk menopang kebutuhan hidup keluarga.
Kesadaran ini timbul setelah melihat keberhasilan dari saudara-saudara
mereka yang ikut dalam trans plasma.
Setelah itu berbagai persoalan mulai timbul. Klaim tanah adat, tuntutan
plasma, pemortalan jalan produksi, sampai kepada upaya untuk menutup
pabrik pengolahan kelapa sawit, oleh beberapa kelompok masyarakat yang
merasa tidak puas. Beruntung persoalan tadi dapat diselesaikan oleh
pemerintah daerah bersama pihak perusahaan dan keterlibatan tokoh
masyarakat.
Beberapa langkah yang disepakati sebagai upaya penyelesaian masalah
dilakukan secara sistematis, Program KKPA mulai dibangun, penganggaran
dalam APBD untuk sawit rakyat mulai dilakukan oleh pemerintah daerah,
mengundang swasta nasional untuk berinvestasi. Upaya-upaya tersebut
diatas membangkitkan kesadaran masyarakat dengan swadaya sendiri untuk
membuka perkebunan sawit ini. Kegiatan perkebunan ini akhirnya merambah
dengan pesat ke Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur.
Berdasarkan data pada Dinas Perkebunan Kalimantan Timur telah terbangun
perkebunan kelapa sawit seluas 569.178 hektare yang terdiri dari
134.311,50 hektare kebun sawit rakyat, 15.937 hektare milik BUMN
sebagai inti dan 418.929,50 hektare milik perkebunan besar swasta
(posisi semester 1/2010). Kalau rata-rata 2 ton tandan buah segar (TBS)
per hektare, maka dari luasan lahan yang telah terbangun tersebut dapat
dihasilkan 40.000 ton TBS per hari.
Selanjutnya, jumlah pabrik dan kapasitas yang terbangun sampai 2008 di
Kaltim adalah 14 unit dengan kapasitas giling 601,5 ton TBS/jam
(sumber: Bidang Usaha, Disbun Kaltim, 2008). Di Kabupaten Paser
misalnya, produksi dari enam unit kebun sawit milik PTPN XIII mencapai
7.200 ton per hari. Sedangkan tiga pabrik milik PTPN XIII dan
perusahaan swasta setempat hanya mampu menyerap maksimal 4 ribu ton per
hari (sumber: www.metrotvnews.com).
Dari data tersebut diatas, terlihat bahwa kemampuan pabrik jauh di
bawah perkiraan produksi TBS per hari. Terlepas dari akurat tidaknya
data tersebut dan analisis yang saya kemukakan, paling tidak bisa
dijadikan sinyal peringatan dini, agar tidak menimbulkan persoalan
dikemudian hari.
Patut disyukuri sektor ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak. Oleh karenanya perlu tetap dijaga keberlangsungannya dengan
maajemen yang berkeadilan. Namun perlu disadari bahwa komoditi ini
sebenarnya tidak termasuk dalam kelas perkebunan rakyat, karena
sifatnya yang padat modal dan syarat teknologi.
Kemampuan membuka kebun, sampai menghasilkan (panen), belum dapat
dijadikan ukuran keberhasilan. Komoditi ini sangat tergantung kepada
industri pengolahannya, yang sarat dengan teknologi dan modal serta
manajemen yang tentu saja belum mampu untuk dilakukan oleh petani kita.
"Ketergantungan" inilah yang harus menjadi perhatian pemangku
kepentingan, yaitu pemerintah, swasta yang saat ini menguasai pabrik
dan masyarakat petani sawit itu sendiri. Ketiga pemangku kepentingan
ini perlu menjaga keseimbangan, sehingga ketergantungan sebagaimana
yang saya utarakan diatas tidak menjadi persoalan yang dapat merugikan
petani.
Posisi petani disini sangat rentan sekali, perlu ada jaminan agar hasil
panen petani diterima oleh pabrik, perhitungan rendemen yang tidak
merugikan petani, demikian pula masalah harga tandan buah segar. Oleh
karenanya perlu diperhitungkan kapasitas pabrik yang terbangun
dibanding dengan luasan kebun yang telah terbangun baik yang dilakukan
swasta, baik pola inti plasma maupun perkebunan sawit yang dibangun
oleh masyarakat dengan swadaya murni. Sehingga ke depan tidak terjadi
penolakan tandan buah segar karena telah melampaui kapasitas pabrik.
Sebagaimana yang saya ungkapkan diatas, peran pemerintah sangat
diharapkan karena kewenangan regulasinya dan melalui perangkat
daerahnya yaitu Dinas Perkebunan diharapkan dapat memantau,
mengendalikan dan membina petani dan melakukan fasilitasi dengan pihak
perusahaan.
Terkait dengan upaya pemerintah untuk mencapai kemandirian dan
kedaulatan pangan, maka sudah saatnya kita untuk mengevaluasi kembali
ketersediaan lahankita untuk keperluan tersebut. Menata kembali
kebijakan inti plasma yang selama ini kurang berpihak kepada petani.
Sinyal peringatan dini ini mudah-mudahan dapat memberikan perlindungan
dan pemberdayaan petani.
Yusran Aspar
Anggota Komisi IV DPR RI
Fraksi Partai Demokrat
DIKUTIP DARI KALTIM POST, KAMIS, 17 PEBRUARI 2011