JAKARTA. Pemerintah mengkaji pengubahan skema bea keluar komoditas biji kakao menjadi tarif
flat sebesar 15%.
Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan penetapan tarif flat
bertujuan untuk menahan ekspor mentah dan meningkatkan penyerapan bahan
baku industri domestik.
“Sekarang bea keluar yang berlaku masih
merupakan tarif progresif, artinya besaran tarif tergantung harga biji
kakao internasional. Sudah kami usulkan kepada Badan Kebijakan Fiskal
agar menjadi tarif
flat sebesar 15%,” ujarnya selepas menghadiri Pameran Hari Kakao Indonesia di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Harga
biji kakao global kini terkoreksi sampai berada di bawah US$2.000
per metrik ton. Imbasnya, komoditas itu terbebas pengenaan bea masuk
karena terikat dengan regulasi tarif progresif.
Akibatnya, petani
kakao lebih memprioritaskan penjualan hasil tanamnya ke pasar ekspor.
Sementara itu, industri pengolah kakao lokal semakin terimpit dengan
situasi krisis pasokan bahan baku.
“Kalau tarifnya diubah menjadi
flat,
industri dapat lebih mudah memperoleh bahan baku biji kakao.
Permasalahan industri kakao di dalam negeri itu memang bahan bakunya
saja kurang,” ujarnya.
Airlangga menyatakan ekspor biji kakao
mentah melonjak 8.000 ton pada paruh pertama tahun ini. Artinya,
industri diperkirakan semakin sulit memperoleh bahan baku pada tahun ini
bila skema tarif progresif dipertahankan.
Sebelumnya, pelaku
industri berharap pemerintah dapat meningkatkan produk
biji kakao nasional. Pieter Jasman, Ketua Umum Asosiasi
Industri Kakao Indonesia (AIKI), mengatakan peningkatan impor
biji kakao telah terjadi sejak 2014, di mana impor bahan baku cokelat
mencapai 109.000 ton. Tren peningkatan impor tersebut dapat mengancam
daya saing produk dalam negeri, mengingat produsen cokelat harus
membayar bea masuk biji kakao sebesar 5%, PPn 10%, dan PPh 2,5%.
“Untuk
negara lain tidak dikenakan bea masuk untuk impor biji kakao. Apalagi,
bea masuk produk kakao olahan ke Indonesia dari negara kawasan Asia
Tenggara saat ini 0% sejak diberlakukannya AFTA, ini membuat
impor kakao olahan juga melonjak tinggi,” ujarnya.
Merujuk data
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari 2017 hingga
Juli 2017 impor biji kakao mencapai 132.276 ton atau naik 183,86% secara
tahunan dari 46.598 ton. Pieter memperkirakan hingga akhir tahun, impor
biji kakao dapat mencapai 180.000 ton. Angka tersebut bakal menjadi
rekor tertinggi impor biji kakao sepanjang sejarah.
DIKUTIP DARI
BISNIS.COM