Pemerintah Kaji Bea Keluar Flat 15% untuk Biji Kakao
06 September 2017
Admin Website
Berita Daerah
5048
JAKARTA. Pemerintah mengkaji pengubahan skema bea keluar komoditas biji kakao menjadi tarif flat sebesar 15%.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan penetapan tarif flat bertujuan untuk menahan ekspor mentah dan meningkatkan penyerapan bahan baku industri domestik.
“Sekarang bea keluar yang berlaku masih merupakan tarif progresif, artinya besaran tarif tergantung harga biji kakao internasional. Sudah kami usulkan kepada Badan Kebijakan Fiskal agar menjadi tarif flat sebesar 15%,” ujarnya selepas menghadiri Pameran Hari Kakao Indonesia di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Harga biji kakao global kini terkoreksi sampai berada di bawah US$2.000 per metrik ton. Imbasnya, komoditas itu terbebas pengenaan bea masuk karena terikat dengan regulasi tarif progresif.
Akibatnya, petani kakao lebih memprioritaskan penjualan hasil tanamnya ke pasar ekspor. Sementara itu, industri pengolah kakao lokal semakin terimpit dengan situasi krisis pasokan bahan baku.
“Kalau tarifnya diubah menjadi flat, industri dapat lebih mudah memperoleh bahan baku biji kakao. Permasalahan industri kakao di dalam negeri itu memang bahan bakunya saja kurang,” ujarnya.
Airlangga menyatakan ekspor biji kakao mentah melonjak 8.000 ton pada paruh pertama tahun ini. Artinya, industri diperkirakan semakin sulit memperoleh bahan baku pada tahun ini bila skema tarif progresif dipertahankan.
Sebelumnya, pelaku industri berharap pemerintah dapat meningkatkan produk biji kakao nasional. Pieter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), mengatakan peningkatan impor biji kakao telah terjadi sejak 2014, di mana impor bahan baku cokelat mencapai 109.000 ton. Tren peningkatan impor tersebut dapat mengancam daya saing produk dalam negeri, mengingat produsen cokelat harus membayar bea masuk biji kakao sebesar 5%, PPn 10%, dan PPh 2,5%.
“Untuk negara lain tidak dikenakan bea masuk untuk impor biji kakao. Apalagi, bea masuk produk kakao olahan ke Indonesia dari negara kawasan Asia Tenggara saat ini 0% sejak diberlakukannya AFTA, ini membuat impor kakao olahan juga melonjak tinggi,” ujarnya.
Merujuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari 2017 hingga Juli 2017 impor biji kakao mencapai 132.276 ton atau naik 183,86% secara tahunan dari 46.598 ton. Pieter memperkirakan hingga akhir tahun, impor biji kakao dapat mencapai 180.000 ton. Angka tersebut bakal menjadi rekor tertinggi impor biji kakao sepanjang sejarah.
DIKUTIP DARI BISNIS.COM
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan penetapan tarif flat bertujuan untuk menahan ekspor mentah dan meningkatkan penyerapan bahan baku industri domestik.
“Sekarang bea keluar yang berlaku masih merupakan tarif progresif, artinya besaran tarif tergantung harga biji kakao internasional. Sudah kami usulkan kepada Badan Kebijakan Fiskal agar menjadi tarif flat sebesar 15%,” ujarnya selepas menghadiri Pameran Hari Kakao Indonesia di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Harga biji kakao global kini terkoreksi sampai berada di bawah US$2.000 per metrik ton. Imbasnya, komoditas itu terbebas pengenaan bea masuk karena terikat dengan regulasi tarif progresif.
Akibatnya, petani kakao lebih memprioritaskan penjualan hasil tanamnya ke pasar ekspor. Sementara itu, industri pengolah kakao lokal semakin terimpit dengan situasi krisis pasokan bahan baku.
“Kalau tarifnya diubah menjadi flat, industri dapat lebih mudah memperoleh bahan baku biji kakao. Permasalahan industri kakao di dalam negeri itu memang bahan bakunya saja kurang,” ujarnya.
Airlangga menyatakan ekspor biji kakao mentah melonjak 8.000 ton pada paruh pertama tahun ini. Artinya, industri diperkirakan semakin sulit memperoleh bahan baku pada tahun ini bila skema tarif progresif dipertahankan.
Sebelumnya, pelaku industri berharap pemerintah dapat meningkatkan produk biji kakao nasional. Pieter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), mengatakan peningkatan impor biji kakao telah terjadi sejak 2014, di mana impor bahan baku cokelat mencapai 109.000 ton. Tren peningkatan impor tersebut dapat mengancam daya saing produk dalam negeri, mengingat produsen cokelat harus membayar bea masuk biji kakao sebesar 5%, PPn 10%, dan PPh 2,5%.
“Untuk negara lain tidak dikenakan bea masuk untuk impor biji kakao. Apalagi, bea masuk produk kakao olahan ke Indonesia dari negara kawasan Asia Tenggara saat ini 0% sejak diberlakukannya AFTA, ini membuat impor kakao olahan juga melonjak tinggi,” ujarnya.
Merujuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari 2017 hingga Juli 2017 impor biji kakao mencapai 132.276 ton atau naik 183,86% secara tahunan dari 46.598 ton. Pieter memperkirakan hingga akhir tahun, impor biji kakao dapat mencapai 180.000 ton. Angka tersebut bakal menjadi rekor tertinggi impor biji kakao sepanjang sejarah.
DIKUTIP DARI BISNIS.COM