Moratorium Bisa Dongkrak Harga CPO Dunia
23 Mei 2011
Admin Website
Artikel
3882
Jakarta -
Kebijakan moratorium (penundaan) izin kawasan hutan alam dan gambut di
Indonesia justru menguntungkan emiten-emiten produk sawit mentah atau crude palm oil
(CPO) yang tercatat di pasar saham Indonesia. Permintaan yang terus
bertambah, dengan ekspektasi produksi yang cenderung turun bisa memicu
harga CPO dunia kembali naik.
Demikian disampaikan Economist PT Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih dalam perbincangan dengan detikFinance, Minggu (22/5/2011).
Menurutnya, bagi emiten dengan lahan produksi besar dan area tertanaman minim, tentu pembatasan penggunaan kawasan hutan tidak berpengaruh. Mereka masih bisa melakukan peningkatan produksi dengan menanam bibit sawit di lahan yang sebelumnya sudah mengantongi izin.
"Bagi emiten tentu menguntungkan. Harga sawit akan meningkat karena permintaan dunia terus menerus naik, dengan perkembangan Cina dan India pertumbuhan ekonomi terus membaik," jelas Lana.
Dampaknya, harga sawit akan kembali naik karena adanya efek psikologis, meski konsesus dunia pernah menyatakan CPO dunia sudah berada di level tertinggi.
Sementara bagi emiten dengan kondisi produksi sawit yang telah menua, tentu akan sulit bagi mereka untuk berkembang atau melakukan ekspansi lahan baru. Pasalnya, izin pembukaan kawasan hutan dan gambut dibatasi. Ini ditambah harga jual lahan sawit yang dimiliki perusahaan-perusahaan di daerah akan melonjak.
Namun secara temporer, harga sawit dunia akan terkoreksi. Tapi ini tidak berlangsung lama dan secara perlahan hingga 2 tahun ke depan, CPO akan menembus rekor tertingginya.
"Kalau (perusahaan) dengan usia sawit sudah tua-tua, moratorium akan berdampak negatif. Semua tergantung umur sawit. Jika masih akan produksi dalam 2 tahun, tidak ada dampak," tuturnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan adanya moratorium lahan hutan alam dan gambut akan memangkas potensi produksi sawit Indonesia hingga 2 juta ton. Kebijakan ini akan memukul dari sisi produksi sawit lokal dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Seperti diketahui mulai 20 Mei 2011 penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut berlaku efektif. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
Atas Moratorium itu Indonesia mendapatkan komitmen kucuran dana hingga US$ 1 miliar dari Norwegia. Dari jumlah itu sebanyak US$ 30 juta sudah cair dan saat ini sudah ditangan UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola dana.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, MINGGU, 22 MEI 2011
Demikian disampaikan Economist PT Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih dalam perbincangan dengan detikFinance, Minggu (22/5/2011).
Menurutnya, bagi emiten dengan lahan produksi besar dan area tertanaman minim, tentu pembatasan penggunaan kawasan hutan tidak berpengaruh. Mereka masih bisa melakukan peningkatan produksi dengan menanam bibit sawit di lahan yang sebelumnya sudah mengantongi izin.
"Bagi emiten tentu menguntungkan. Harga sawit akan meningkat karena permintaan dunia terus menerus naik, dengan perkembangan Cina dan India pertumbuhan ekonomi terus membaik," jelas Lana.
Dampaknya, harga sawit akan kembali naik karena adanya efek psikologis, meski konsesus dunia pernah menyatakan CPO dunia sudah berada di level tertinggi.
Sementara bagi emiten dengan kondisi produksi sawit yang telah menua, tentu akan sulit bagi mereka untuk berkembang atau melakukan ekspansi lahan baru. Pasalnya, izin pembukaan kawasan hutan dan gambut dibatasi. Ini ditambah harga jual lahan sawit yang dimiliki perusahaan-perusahaan di daerah akan melonjak.
Namun secara temporer, harga sawit dunia akan terkoreksi. Tapi ini tidak berlangsung lama dan secara perlahan hingga 2 tahun ke depan, CPO akan menembus rekor tertingginya.
"Kalau (perusahaan) dengan usia sawit sudah tua-tua, moratorium akan berdampak negatif. Semua tergantung umur sawit. Jika masih akan produksi dalam 2 tahun, tidak ada dampak," tuturnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan adanya moratorium lahan hutan alam dan gambut akan memangkas potensi produksi sawit Indonesia hingga 2 juta ton. Kebijakan ini akan memukul dari sisi produksi sawit lokal dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.
Seperti diketahui mulai 20 Mei 2011 penerapan moratorium (penundaan) terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut berlaku efektif. Moratorium ini berlaku selama dua tahun kedepan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia.
Dalam Inpres itu diatur juga bahwa penundaan pemberian izin baru berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain.
Atas Moratorium itu Indonesia mendapatkan komitmen kucuran dana hingga US$ 1 miliar dari Norwegia. Dari jumlah itu sebanyak US$ 30 juta sudah cair dan saat ini sudah ditangan UNDP (United Nation Development Program) sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola dana.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, MINGGU, 22 MEI 2011