Menperin: Kita Diperlakukan Tidak Fair oleh RSPO
05 Oktober 2011
Admin Website
Artikel
5336
JAKARTA.
Menteri Perindustrian MS Hidayat sangat mendukung langkah Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sebagai asosiasi keluar dari
forum Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Selama ini Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia diperlakukan tidak fair oleh RSPO.
"Malah saya mendukung, selama ini teman-teman diperlakukan oleh RSPO tidak fair," kata Hidayat kepada detikFinance, Rabu (5/10/2011).
Hidayat menegaskan dengan langkah tersebut maka Gapki akan lebih memfokuskan pengembangan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Justru dengan adanya ISPO, maka posisi Indonesia akan lebih sejajar dengan pemangku kepentingan persawitan internasional termasuk RSPO.
"Kita merasa selama ini diperlakukan tidak fair," tegas Hidayat.
Masalah sikap RSPO yang 'mempermainkan' negara-negara produsen sawit termasuk Indonesia sejatinya sudah menjadi rahasia umum. Perlakuan tersebut membuat asosiasi sawit Indonesia dan Malaysia kerap kali terlihat kompak dalam meladeni tekanan dari RSPO.
Misalnya pada Mei 2010 lalu Asosiasi produsen sawit Indonesia-Malaysia mengancam akan melakukan aksi walk out dalam forum working group (WG) ke-2 RSPO. Hal ini dilakukan karena syarat-syarat RSPO yang dibahas oleh WG semakin memberatkan produsen sawit kedua negara.
Pada waktu itu Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan kreteria yang ditetapkan oleh RSPO terhadap pengelolaan sawit yang berkelanjutan setiap waktu selalu diubah. Tentunya hal ini menurutnya memberatkan produsen sawit.
Syarat-syarat baru yang diajukan RSPO cenderung menyulitkan dan membidik kepada produsen sawit saja. Padahal anggota RSPO bukan hanya produsen tetapi mencakup perbankan, industri, NGO, importir, dan lain-lain.
Misalnya dalam pertemuan WG pertama tahun 2009 lalu telah disusun prinsip dan kriteria baru yang akan dimasukkan dalam syarat RSPO, di antaranya semua sumber emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit harus dicatat, dimonitor, dan dilaporkan.
Penanaman baru harus dilahan dengan stok karbon kurang dari 35 ton per hektar untuk mengurangi sebesar-besarnya emisi karbon dan semua penggunaan lahan gambut dilarang, yang semuanya sangat memberatkan produsen.
RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan kepentingan tujuh sektor industri kelapa sawit. Anggota RSPO berasal dari berbagai sektor, dari produsen produk konsumen, produsen kosmetik, pengolah dan pedagang kelapa sawit, penyedia jasa keuangan, peritel, sampai dengan lembaga swadaya masyarakat.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, RABU, 5 OKTOBER 2011
"Malah saya mendukung, selama ini teman-teman diperlakukan oleh RSPO tidak fair," kata Hidayat kepada detikFinance, Rabu (5/10/2011).
Hidayat menegaskan dengan langkah tersebut maka Gapki akan lebih memfokuskan pengembangan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Justru dengan adanya ISPO, maka posisi Indonesia akan lebih sejajar dengan pemangku kepentingan persawitan internasional termasuk RSPO.
"Kita merasa selama ini diperlakukan tidak fair," tegas Hidayat.
Masalah sikap RSPO yang 'mempermainkan' negara-negara produsen sawit termasuk Indonesia sejatinya sudah menjadi rahasia umum. Perlakuan tersebut membuat asosiasi sawit Indonesia dan Malaysia kerap kali terlihat kompak dalam meladeni tekanan dari RSPO.
Misalnya pada Mei 2010 lalu Asosiasi produsen sawit Indonesia-Malaysia mengancam akan melakukan aksi walk out dalam forum working group (WG) ke-2 RSPO. Hal ini dilakukan karena syarat-syarat RSPO yang dibahas oleh WG semakin memberatkan produsen sawit kedua negara.
Pada waktu itu Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan kreteria yang ditetapkan oleh RSPO terhadap pengelolaan sawit yang berkelanjutan setiap waktu selalu diubah. Tentunya hal ini menurutnya memberatkan produsen sawit.
Syarat-syarat baru yang diajukan RSPO cenderung menyulitkan dan membidik kepada produsen sawit saja. Padahal anggota RSPO bukan hanya produsen tetapi mencakup perbankan, industri, NGO, importir, dan lain-lain.
Misalnya dalam pertemuan WG pertama tahun 2009 lalu telah disusun prinsip dan kriteria baru yang akan dimasukkan dalam syarat RSPO, di antaranya semua sumber emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit harus dicatat, dimonitor, dan dilaporkan.
Penanaman baru harus dilahan dengan stok karbon kurang dari 35 ton per hektar untuk mengurangi sebesar-besarnya emisi karbon dan semua penggunaan lahan gambut dilarang, yang semuanya sangat memberatkan produsen.
RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan kepentingan tujuh sektor industri kelapa sawit. Anggota RSPO berasal dari berbagai sektor, dari produsen produk konsumen, produsen kosmetik, pengolah dan pedagang kelapa sawit, penyedia jasa keuangan, peritel, sampai dengan lembaga swadaya masyarakat.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, RABU, 5 OKTOBER 2011