Ini Sawit, Bukan Batu Bara
SAMARINDA. Rencana pencabutan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit di Kaltim seluas 131 ribu hektare oleh pemerintah menuai kontra. Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Azmal Ridwan menyebut, perkebunan sawit tak seperti tambang batu bara, begitu menggali tanah, langsung terlihat hasilnya. Dia menjelaskan, dibandingkan usaha sawit, pertambangan batu bara memiliki modal dan pendapatan jauh lebih besar. Sementara kelapa sawit tak mendapatkan hasil sebesar tambang. Apalagi perkebunan sawit banyak menghadapi kendala saat mulai membuka lahan.
Misalnya, warga yang meminta pembebasan lahan, lantaran lokasi HGU itu sudah dijadikan perkebunan oleh warga sekitar. Padahal lahan itu miliki pemerintah. "Yang begini ‘kan aneh, kecuali warga itu memiliki sertifikat tanah, mungkin pengusaha sawit mau saja mengganti," katanya, kemarin. Dan yang harus diketahui, ujarnya, usaha perkebunan sawit memerlukan proses lima tahun, mulai penanaman hingga panen. Sedangkan perusahaan batu bara ketika mendapatkan izin lokasi, mereka bisa langsung mengeksploitasi.
Soal terlantarnya lahan HGU seluas 131 ribu hektare itu bukan berarti
tak digarap. Tapi karena menanam sawit tak semudah menggali batu bara
tadi. Data Gapki Kaltim terdapat 2,4 juta hektare izin lahan dari
pemerintah yang tersebar di seluruh kabupaten. Dari 2,4 juta hektare,
baru 800 ribu haktare yang ditanami sawit. Sedangkan 1,6 juta hektare
belum ditanami dan masih proses penanaman.
Belum tertanamnya lahan 1,6 juta hektare itu bukan berarti terlantar.
Banyak faktor yang menjadi penyebab lahan tadi tak digarap, sehingga
menimbulkan kesan terlantar. "Mestinya pemerintah jangan asal cabut,
tapi Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa mengecek ke lokasi. Kemudian
melihatnya dan mencari kendala suatu HGU itu kenapa belum ditanami?
Setelah itu pemerintah bisa mempertimbangkan, bukan langsung mencabut,"
jelasnya.
Menurutnya, jika 131 ribu hektare lahan yang bakal dicabut itu
bermasalah, sudah seharusnya BPN mencabut HGU-nya. Tapi kalau progresnya
benar, pengusaha tengah mematangkan lahan untuk penanaman sawit, ini
yang harus dicek oleh pemerintah. Jika diperlukan, pemerintah bisa
memanggil pemegang HGU dengan menanyakan keseriusan pengusaha tersebut
berkebun sawit.
Diketahui, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Pasal 6 Ayat 1 Huruf (a),
dijelaskan terhitung mulai 3 tahun sejak diterbitkan HGU tapi tidak
dimanfaatkan sesuai peruntukan haknya, maka BPN berwenang untuk
mencabutnya. Berdasar data BPN Kaltim, tahun ini sedikitnya 131.000
hektare perkebunan sawit se-Kaltim terindikasi terlantar dan sedang
dalam proses pengusulan pencabutan HGU.
"Yang diusulkan pencabutan atau pemutusan hubungan hukum dengan
pemegang hak dengan tanahnya," ujar Kepala Kanwil BPN Kaltim Subowo
Meru, seperti diberitakan sebelumnya. Ketentuan ini mengacu Pasal 10
bahwa yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, apabila merupakan
keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya dihapuskan, diputuskan
hubungan hukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung
oleh negara.
Dari angka tersebut, Subowo menyebut tersebar di 25 badan
usaha/perusahaan. Hanya saja mantan kepala Kantor BPN Kota Bogor ini
belum bersedia merinci nama-nama perusahaan berikut kabupaten mana saja
yang terluas lahan HGU sawitnya bakal dicabut. Bila HGU, katanya, telah
diambil alih oleh negara, maka di lahan eks HGU itu tidak boleh lagi
diterbitkan izin serupa. Melainkan dialihkan untuk program kesejahteraan
masyarakat (ketahanan pangan, pertanian, permukiman) serta pertahanan
dan keamanan negara.
Menurut Meru, ada beberapa hal yang menyebabkan pengusaha tidak
memanfaatkan HGU sebaik-baiknya. Di antaranya, tingkat keseriusan
perusahaan yang kurang, tak memiliki modal kuat, terjadi tumpang tindih
dengan perizinan lain (perkebunan/pertambangan), serta gangguan sosial
masyarakat. Lahan yang teridentifikasi ditelantarkan perusahaan, sambung
dia, ada yang sama sekali belum digarap, dan ada yang sebagian.
"Dari peringatan pertama ke peringatan kedua, selalu dilakukan monitoring ke lapangan sehingga ketahuan progresnya," jelasnya. Dikatakan, jika sebuah perusahaan pemegang HGU seluas 5.000 hektare, misalnya, baru menanam 3.000 hektare ketika menerima peringatan pertama, dan saat peringatan kedua lahan yang dimanfaatkan 3.200 hektare, maka sisanya 1.800 hektare tersebut yang diusulkan dicabut.
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 3 MEI 2012