
ISTILAH black campaign atau kampanye hitam
kerap muncul di permukaan, mengiringi sengitnya persaingan pemilu
presiden (pilpres), beberapa waktu lalu. Tindakan sejenis, diklaim
menjurus kepada para pengusaha kelapa sawit di Indonesia. Berdalih
membawa dampak negatif terhadap ekosistem, banyak pihak, terutama dari
kalangan pecinta lingkungan menuntut pemerintah memoratorium izin
produksi buah penghasil minyak goreng tersebut.
Tudingan tersebut mulai santer terdengar pada 2006 lalu. Hingga kini,
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) belum menghentikan
upaya meluruskan pandangan publik terkait hal ini.
Dalam pertemuan sebuah perusahaan nasional dengan awak media di
Samarinda, belum lama ini, klarifikasi tersebut kembali disuarakan.
Mereka menilai, pers merupakan “senjata” ampuh dalam membuka mata
publik.
Dalam penuturannya, perwakilan perusahaan tersebut balik menuding
bahwa tuduhan dunia terhadap dampak buruk industri sawit hanyalah bagian
dari persaingan bisnis. Seperti diketahui, komoditas yang tumbuh bagus
di wilayah tropis itu memang primadona bagi bisnis minyak nabati,
dibanding tanaman lain, seperti kedelai atau minyak bunga matahari.
Anggapan itu bukan tanpa alasan. Dari sisi produktivitas, CPO dari
sawit bisa mencapai 4 hingga 5 ton per hektare (ha). Sementara kedelai
dan bunga matahari hanya mampu menghasilkan masing-masing 0,48 dan 0,38
ton per ha. Memang, sebagian negara memilih menggunakan kedelai, karena
selain minyak, zat padat dari tanaman ini dapat dikonsumsi.
Namun, sawit masih memiliki keunggulan lain di pasar global. Dengan
tonase yang sama, harga komoditas ini jauh lebih murah dibanding dua
kompetitornya.
Secara nasional, saya sedikit setuju bahwa isu negatif sawit bagi
lingkungan adalah sebuah ancaman. Sebab, di beberapa daerah, potensi
industri tanaman ini tak semumpuni di Kaltim. Begitupun dengan
kontribusinya terhadap perekonomian.
Bagaimana di sini? Semua yang pernah menyimak pidato sejumlah pemimpin
daerah di level provinsi ini pasti kerap mendengar sejumlah program
terkait pengembangan tanaman yang satu ini.
Sebut saja proyeksi besar Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional
(KIPI) Maloy, Kutai Timur. Meski juga bakal menjadi jalur persinggahan
batu bara dan industri lain, kawasan itu digadang-gadang bakal
mengutamakan akomodasi pengolahan sebagian tanaman sawit terbesar di
kawasan Indonesia Timur.
Sementara itu, dari hulu produksi, ada rencana mengembangkan 2 juta
hektare (ha), yang dikebut agar rampung 2018 mendatang. Belum lagi
proyeksi swasembada di subsektor peternakan yang menggabungkan budi daya
sapi dan sawit, dengan komposisi satu ekor sapi per 1 ha kebun sawit.
Program-program tersebut menggambarkan betapa sawit sudah “terlanjur”
disemai sebagai motor perekonomian pada masa mendatang. Jika upaya black campaign
terhadap tanaman yang juga kerap dijuluki kurma tropis itu benar-benar
efektif dan mematikan seluruh rantai industri, bukan hanya sisi
hulu-hilir yang terkena imbasnya. Sektor-sektor penunjang dan bidang
lain yang bergantung pada sawit pun bakal kehilangan lahan mereka.
Menilik kinerja seluruh pihak, upaya merealisasikan pengembangan
kelapa sawit, sejauh ini masih dalam tren positif. Data dari Dinas
Perkebunan Kaltim mencatat, hingga 2013 lalu, pemerintah telah
menelurkan 215 izin lokasi kepada 338 untuk membuka lebih dari 300
Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan total luas mencapai 3,86 juta ha.
Dari luas tersebut, 3,1 juta ha di antaranya telah ditetapkan sebagai
usaha perkebunan. Meski hak guna usaha (HGU) baru mencapai 1,1 juta ha
atau kurang dari setengahnya dan baru 819 ha yang baru terealisasi (data
2013, sekarang pasti lebih), semua raihan itu tak bisa disepelekan.
Belum lagi dari sisi produksi, yang terus menunjukkan tren positif,
setidaknya sejak lima tahun terakhir. Baru mampu menghasilkan 2,3 juta
ton pada 2009, tahun lalu, produksi sawit Kaltim sudah meroket ke angka
7,6 juta ton atau hampir tiga kali lipat.
Padahal, dalam rentang lima tahun itu pula, atau tepatnya 2010, black campaign
mulai gencar disuarakan pada sektor ini. Belum lagi temuan kasus
perusakan populasi satwa langka pada sejumlah oknum yang memproduksi
sawit.
Meski begitu, setidaknya di Kaltim, nyatanya lebih banyak pihak yang
memilih tak menanggapi isu-isu negatif tentang sawit. Produksi komoditas
ini jalan terus dari hulu hingga hilirnya. Bahkan, di beberapa daerah,
tak sedikit perusahaan yang berhasil “menyawitkan” perekonomian
masyarakat. (***/lhl/k14)
DIKUTIP DARI KALTIM POS, SELASA, 5 AGUSTUS 2014