
JAKARTA. Pengusaha perkebunan dan industri kelapa sawit
mengeluhkan beberapa kebijakan dan janji pemerintah. Misalnya soal
lahan, kebijakan bea keluar hingga kampanye hitam.
Ekspansi atau
perluasan perkebunan sawit di Indonesia masih terkendala terbatasnya
lahan. Dari 7,3 juta hektar lahan sawit yang dijanjikan pemerintah,
hanya 14.000 hektar yang terealisasi.
"Pemerintah mengatakan ada
areal idle (tak terpakai) sawit sebesar 7,3 juta hektar, secara total
tanaman kelapa sawit kita saat ini sudah 9 juta hektar. Kenapa tidak
kita tanam yang 7,3 juta hektar? Yang clean and clear hanya 14.000
hektar. Jadi ada simpang siur data," tegas Ketua Umum Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly J. Bahroeny saat berdiskusi
dengan media di Kantor Pusat GAPKI Jalan KH Mas Mansyur Jakarta, Rabu
(15/1/2014).
Pengusaha sawit di Indonesia juga mengeluh soal
banyaknya kampanye hitam soal produk sawit seperti crude palm oil (CPO)
di luar negeri terutama di Eropa.
"Masalah yang tidak hentinya
kami hadapi contohnya serangan NGO (Non Government Organization). Kalau
masalah internasional ini bagaimana mereka menghambat dan
mendiskreditkan kelapa sawit Indonesia tetapi si Eropa ini tetap beli
dan mereka (pasar Eropa) pembeli nomor 3 terbesar CPO kita," imbuhnya.
Ia
juga berharap pemerintah menurunkan tingginya bea keluar (BK/pajak
ekspor) CPO. Saat ini pajak ekspor CPO sebesar 9%, apabila BK diturunkan
maka akan sangat membantu pengusaha sawit. Apalagi, kebutuhan CPO di
dalam negeri saat ini hanya mencapai 8 juta ton per tahun, sementara
produksi CPO mencapai 28 juta ton.
"Pajak ekspor kita terlalu
tinggi dan kita tahu persis maksimum kebutuhan lokal kita berapa paling
hanya 8 juta ton. Mungkin kita hanya mengkoreksi dan berusaha saja.
Sebagai catatan, Malaysia saja langsung menurunkan pajak ekspornya
menjadi 4%," cetusnya.
DIKUTIP DARI DETIK, RABU, 15 JANUARI 2014