JAKARTA. Sejumlah asosiasi yang menaungi petani juga eksportir
menyurati pemerintah untuk meminta penghapusan bea keluar untuk kelapa
sawit dan kakao.
Pemerintah juga diminta untuk menarik kembali rencana menerapkan bea keluar untuk jambu mete, kelapa, dan kopi.
Asosiasi beranggapan penerapan bea keluar memberikan dampak negatif,
a.l. menjadi disinsentif bagi perkembangan sektor hulu karena saat harga
komoditas meningkat, para petani tidak bisa menikmati keuntungan.
Di sisi lain, penerapan bea keluar dinilai diskriminatif karena tidak dilakukan untuk batu bara dan barang tambang lainnya.
Adapun asosiasi yang tertera di dalam surat itu adalah adalah Dewan
Kelapa Indonesia (Dekindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(Apkasindo), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Askepir),
Kemudian Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), dan Asosiasi Petani Kelapa
Indonesia (APKI), dan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI).
Surat itu disampaikan ke menteri keuangan, menteri pertanian, menteri
perindustrian, menteri perdagangan, unit kerja presiden bidang
pengawasan dan pengendalian pembangunan, dan kepala badan kebijakan
fiskal.
Belum ditanggapi
Sekjen Apkasindo Asmar Arsjad mengatakan hingga saat ini pemerintah belum menanggapi surat tertanggal 16 Januari 2012 itu.
Dia mengharapkan minimal pemerintah menerapkan bea keluar yang
besarannya tidak berubah-ubah, sebagai alternatif solusi cepat
penyelesaian masalah.
“Kami meminta penghapusan bea keluar. Selama ini juga tidak jelas
penggunaan dari bea keluar, yang seharusnya dikembalikan lagi ke petani.
Kalau tidak bisa dihapus, kami meminta agar bea keluar ditetapkan
secara spesifik, misalnya 5% dan tidak berubah-ubah,” jelasnya siang
ini.
Menurutnya, bea keluar untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang telah ada sejak 1969 tidak jelas penggunaannya.
“Perhitungan kami, bea keluar yang sudah terkumpul sejak 1969 dari CPO
itu sebesar Rp80 triliun, tapi penggunaannya tidak transparan. Kami
meminta Rp31 triliun dari bea keluar itu untuk peremajaan tanaman dan
pembangunan jembatan di kecamatan, tapi tidak ada tanggapan,” paparnya.
Di tempat yang sama, Sekretaris Eksekutif Askindo Firman Bakri
mengatakan petani kakao saat tertekan dengan adanya bea keluar biji
kakao, sehingga sangat berharap investor asing di sektor pengolahan biji
kakao semakin banyak masuk ke Indonesia.
“Bea keluar untuk biji kakao diterapkan secara progresif. Ketika harga
naik, bea keluar juga tinggi, dan sebaliknya. Kalau ditetapkan secara
progresif membuat petani tidak bisa merancang bisnisnya. Ketika harga
kakao tinggi, petani juga jarang menikmati keuntungan,” paparya.
Dia memaparkan eksportir tidak bisa membebankan bea keluar kepada
pembeli di luar negeri, sehingga mau tidak mau harga di petani yang
ditekan.
Pada Februari, pemerintah menetapkan bea keluar minyak sawit mentah
(crude palm oil/CPO) untuk Februari 2012 sebesar 16,5%, meningkat
dibandingkan dengan bulan Januari 2012 yakni 15%.
Penetapan bea keluar untuk Februari itu berdasarkan harga referensi yakni sebesar US$1.073 per ton.
Sementara itu, bea keluar untuk biji kakao adalah 5% atau tidak
mengalami perubahan, berdasarkan harga referensi US$2.197,77 per ton.
Kementerian Perindustrian sebelumnya juga mengusulkan untuk mengenakan bea keluar terhadap karet guna memajukan industri hilir.
Namun, Kementerian Perdagangan dan Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) menolak usulan tersebut.
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane mengatakan
penetapan bea keluar terhadap karet tidak akan membangkitkan industri
hilir.
“Ketika bea keluar karet dipaksakan, yang akan terkena dampak itu
adalah petani karena eksportir atau pedagang tidak ingin rugi [sehingga
menekan harga di tingkat petani]. Sementara itu di sisi lain, penetapan
bea keluar juga sulit untuk menghidupkan industri hilir,” jelasnya.
DIKUTIP DARI BISNIS INDONESIA, KAMIS, 26 JANUARI 2012