Alokasikan BK Untuk Genjot R&D Sawit
JAKARTA. Pemerintah harus mengalokasikan sebagian hasil bea keluar (BK) minyak sawit untuk menggenjot penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) dan membangun infrastruktur di sentra perkebunan sawit. Pemerintah juga perlu secara khusus menyediakan dana dari APBN untuk pengembangan industri sawit nasional.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun, Menteri Pertanian Suswono, Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo, dan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) M Fadhil Hasan kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (21/10). Derom Bangun berharap disediakan dana APBN untuk mendukung industri kelapa sawit lewat anggaran kementerian dan lembaga terkait, antara lain untuk riset.
Derom mengatakan, industri minyak sawit masih lemah sekali dalam kegiatan penelitian. Padahal, sumbangan devisa dari ekspor industri itu bernilai lebih dari US$ 20 miliar per tahun. Oleh sebab itulah, dana penelitian juga harus disediakan dari APBN, tidak hanya dari pelaku usaha.
"Jika biaya produksi dihitung 30% dari US$ 20 miliar itu, berarti ada US$ 6 miliar. Jika diambil 1% dari biaya produksi, dapat dialokasikan US$ 60 juta atau sekitar 660 miliar per tahun untuk penelitian. Dari pemantauan kami, beberapa perusahaan sudah melaksanakan penelitian secara internal, terutama untuk meningkatkan produksi dan pencegahan hama penyakit," papar Derom.
Firman Soebagyo mengatakan, agar industri hilir minyak sawit Indonesia dapat berkembang seperti Malaysia, pemerintah harus memberi insentif kepada pelaku usaha dan memproteksi tanpa melanggar aturan. Kegagalan pemerintah memasukkan sawit ke dalam daftar produk ramah lingkungan dalam pertemuan APEC yang lalu di Bali sangat disayangkan.
Menurut Firman, proteksi terhadap produk nasional juga dilakukan oleh negara-negara maju. Contohnya Amerika Serikat, yang berani menggelontorkan proteksi dan subsidi sebesar besarnya bagi kapas, gandum, dan kedelai. Pemerintah negara-negara maju menyadari bahwa komoditas itu sangat penting bagi petani dan dalam meningkatkan devisa.
Upaya lain, Pemerintah Indonesia perlu membatasi investasi asing di industri sawit dalam negeri dan tidak diberikan peluang sebesar-besarnya seperti terjadi selama ini. Bahkan, ke depan, investasi sawit perlu masuk daftar negatif investasi (DNI). Hal tersebut menjadi pembahasan dalam revisi undang-undang perkebunan.
Suswono mengatakan, sejak awal
pihaknya telah menyampaikan mengenai kebutuhan dana riset dari kontribusi BK
sawit yuang disisihkan langsung. Dia berharap, Indonesia
bisa meniru Malaysia
dalam riset sawit.
Di Indonesia, lanjut Suswono, BK
dari industri sawit umumnya melebur dengan perpajakan dari sektor lainnya.
Pengalokasiannya kemudian masuk ke semua sektor.
Sementara itu, Fadhil Hasan mengusulkan BK minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) diturunkan, menjadi rata-rata 5%. Sedangkan produk turunan CPO dikenai BK 0%. Dengan struktur tarif BK seperti itu, produk ekspor CPO nasional dapat bersaing dengan Malaysia.
Dengan BK produk turunan CPO sebesar 0%, lanjut Fadhil, program hilirisasi sawit barulah dapat berjalan optimal. “BK 0% diperlukan agar industri hulu tidak terlalu terdistorsi dan petani tidak terlalu dirugikan,” tutur dia.
Fadhil Hasan menegaskan, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama pelabuhan, khususnya di daerah produksi CPO dan industri hilirnya. Dengan demikian, ekspor CPO dan industri hilirnya. Dengan demikian, ekspor CPO bisa lebih efisien dan tidak dibebani ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Yang tak kalah penting, kata Fadhil,pemerintah harus memberikan insentif yang cukup untuk R&D, baik fiskal maupun nonfiskal. Insentif perlu diberikan kepada perusahaan yang menanamkan investasinya dalam kegiatan R&D. Dengan begitu, perusahaan akan berlomba-lomba melakukan riset yang akhirnya mendorong lahirnya produk-produk turunan CPO bernilai tambah tinggi.
Berdasarkan proyeksi GAPKI, nilai ekspor CPO dan produk turunannya tahun ini bisa digenjot menjadi US$ 28 miliar dibanding tahun lalu US$ 23 miliar, jika pemerintah menurunkan rata-rata BK dari 9% menjadi 5%. Tambahan ekspor senilai US$ 5 miliar itu bisa untuk menutup defisit neraca perdagangan Indonesia yang secara kumulatif Januari-Juli lalu sekitar US$ 5,65 miliar.
Berdasarkan catatan DMSI, tahun ini
ada perubahan pola produksi dan ekspor di kalangan produsen CPO. Penguatan
dolar AS terhadap rupiah mendorong pelaku usaha untuk menggenjot produksi guna
memanfaatkan peluang ekspor. Produksi minyak sawit sampai akhir tahun 2013
diperkirakan mencapai 30 juta ton. Dari jumlah itu, sekiat 65%-nya akan
terealisasi pada semester II ini. Sedangkan produksi tahun 2012 hanya sekitar
26 juta ton.
DIKUTIP DARI KONTAN, SELASA, 22 OKTOBER 2013