
Masa depan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kaltim pada 2014 diprediksi masih tetap menjadi komoditas unggulan.
APALAGI, bila pemerintah bersedia menerbitkan
regulasi yang berpihak kepada petani. “Kelapa sawit masih menjadi
primadona, karena sebagai penyumbang devisa terbesar non-migas,” kata
Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan (Gapperindo) Kaltim Bambang
Sarjito, kemarin.
Ia mengatakan itu saat menjawab media ini berkaitan masa depan
kesejahteraan petani kelapa sawit di Kaltim, menyusul tahun 2014 yang
diperkirakan banyak pihak merupakan tahun penuh tantangan.
Bambang berpendapat, dengan kondisi dolar yang cenderung naik, hal ini sangat berpengaruh terhadap harga crude palm oil (CPO) dan tandan buah segar (TBS) yang cukup baik.
Secara kasar, bisnis sawit ini memang menawarkan keuntungan yang
menarik. Dibeberkan, investasi kebun sawit per hektare memerlukan
anggaran Rp 40 juta sampai tanaman menghasilkan. "Setelah buah pasir
hasil kebun kelapa sawit per hektare yaitu 130 pohon per hektare berat
janjang rata-rata 5 kilogram per pohon untuk umur 4 tahun x 2 kali panen
per bulan. Harga Rp 1.500 per kilogram hasil per bulan. Rinciannya 130 x
5 kilogram x 2 x Rp 1.500 = Rp 1.900.000,- per bulan per hektare.
Sebesar 35 persen dari nilai ini adalah biaya operasional. Sisanya
pendapatan bersih petani. Penghasilan petani kelapa sawit semakin tahun
semakin bertambah seiring dengan semakin tua umur kelapa sawit," papar
Bambang.
Hanya saja, ujar dia, agar petani kelapa sawit terus bisa meningkatkan
kesejahteraan peran pemerintah sangat diharapkan. Misalnya, katanya,
untuk meningkatkan produksi buah sawit petani perlu diberi subsidi pupuk
dan pendampingan petani. “Kalau berbicara hambatan, saya kira, adalah
terkait perda Kaltim yang melarang angkutan sawit melalui jalan umum,”
katanya.
Hambatan lain, sempitnya luasan lahan yang bisa digarap untuk
perkebunan kelapa sawit lantaran sudah dikuasi investor besar.
Penguasaannya hingga di atas 7.000 hektare.
"Lainnya lagi adalah kurangnya tenaga penyuluh lapangan atau PPL
perkebunan untuk pendampingan petani. Pabrik yang belum memadai di
setiap kabupaten, sehingga antrean selalu terjadi. Berikutnya adalah LSM
asing yang selalu mendiskreditkan perkebunan kelapa sawit ini,"
ujarnya.
Dalam kesempatan sebelumnya, Bambang Sarjito sempat mempermasalahkan
perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kaltim dituding telah memanipulasi
hak rakyat terkait ketentuan pembangunan kebun plasma, sebagaimana
amanat Permentan 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan.
"Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kaltim, dan luasan areal
yang diusahakan oleh perkebunan besar menguntungkan bagi pemerintah dan
perusahaan. Tetapi, sangat merugikan rakyat dan petani kelapa sawit di
Kaltim," kata Bambang Sarjito. Permentan 98/2013 itu, kata dia, adalah
menganulir kebijakan sebelumnya Permentan No. 26/2007 tentang hal sama.
Ia mengemukakan argumentasinya, dengan diterbitkannya izin oleh
pemerintah kepada perusahaan besar berdampak pada sulitnya petani untuk
membuat kebun swadaya, karena tanah mereka habis untuk perkebunan
perusahaan.
Sementara, perusahaan tidak melaksanakan kewajiban membangun kebun
plasma untuk masyarakat. "Hadirnya perusahaan perkebunan banyak memicu
konflik tanah yang berkepanjangan. Mayoritas perkebunan besar di Kaltim
saat kali pertama masuk komitmen dengan janji-janji awal saat
sosialisasi akan membantu menyejahterakan rakyat sekitar. Belakangan
terbukti justru tidak patuh terhadap aturan menteri pertanian yang
mewajibkan setiap perusahaan membuatkan kebun bagi masyarakat sekitar
minimal 20 persen dari luasan hak guna usaha. Pemerintah perlu segera
menertibkan perusahaan yang bandel ini," katanya.
Sebelumnya diberitakan jika Indonesia menyandang gelar sebagai
pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun geliat CPO pada tahun ini
ternyata masih lesu.
Hal ini dibantah oleh Sekretaris
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Penajam Paser Utara
Akhmad Indradi. Ia membenarkan jika pada awal tahun 2013 harga CPO
memang hanya di angka Rp 6.000 per kg. Namun kini terus merangkak naik
hingga di angka Rp 7.500 per kg. Itu, menurut Akhmad, harga di wilayah
Kaltim. Sementara di Jambi, harga CPO sudah di atas Rp 8.500 per kg.
Kenaikan harga ini, lanjut dia, didongkrak sejumlah faktor. Salah
satunya adalah keputusan pemerintah yang menetapkan program pemanfaatan
biofuel untuk konsumsi energi dalam negeri.
"Dengan demikian, saya kurang sepakat jika ada yang menyebutkan bisnis
sawit ini suram. Buktinya, harga terus merangkak naik," sebut Akhmadi.
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SELASA, 31 DESEMBER 2013