
SANGATTA. Gerakkan Desa Membangun yang digagas Bupati Ismunandar dan
Wakil Bupati Kasmidi Bulang disambut dengan baik Organisasi Pemerintah
Daerah (OPD) di lingkungan pemerintah kabupaten. Hal ini dikembalikan
lagi dengan tugas, pokok, dan fungsi tiap-tiap OPD, salah-satunya ialah
Dinas Perkebunan Kutim yang menggarap budidaya kakao sebagai komoditi
perkebunan alternatif selain komoditi andalan daerah ini yakni kelapa
sawit.
Pengembangan komoditi perkebunan alternatif mendapatkan dukungan
penuh oleh pemerintah kabupaten, agar kemudian daerah ini mampu
menjadikan komoditas perkebunan sebagai pemacu pendapatan petani di
daerah pedalaman dan pesisir Kutim. Selama ini Kutim dikenal sebagai
penghasil minyak kelapa sawit dengan pabrik-pabrik CPO yang menunjang
hasil industri hulu tersebut. Dalam perkembangan terakhir, pihak Disbun
akan menggarap perluasan kebun untuk komoditi perkebunan seperti kakao
dan karet.
Seperti dijelaskan Plt Kepala Dinas Perkebunan Kutai Timur M. Alfian
menyebutkan jika saat ini kebun kakao rakyat dikembangkan di Kecamatan
Karangan tepatnya di Desa Karangan Hilir. Luasan kebun yang dikelola
oleh kelompok-kelompok tani tersebut mencapai luasan 124 hektare dengan
hitungan ekonomis lahan produktif untuk panen MCC (Masamba Clone Cacao)
02 sebesar 104 hektare. Terlebih Bupati Ismunandar amat serius untuk
mengangkat harkat derajat hidup petani agar mampu menjadi salah-satu
komponen pembangunan daerah.
"Saya telah meninjau langsung perkebunan kakao rakyat yang ada di
wilayah desa Karangan Hilir, sungguh luar biasa potensi kakao di daerah
ini. Kakao sebagai bahan baku dasar dalam pembuatan coklat, mampu
disuplai petani hingga 100 ton per tahun untuk kebutuhan dalam negeri,"
Ungkap pria yang merangkap sebagai Sekretaris Disbun Kutim ini.
Dari sisi ekonomis, perkebunan kakao rakyat dapat menembus harga
hingga Rp 30.000 per kilo gram dan harga tersebut adalah harga paling
tinggi di akhir 2016 saat petani setempat melakukan panen. Untuk musim
sela seperti Maret hingga pertengahan April 2017 ini, fluktuasi harga
biji kakao memang menurun dengan kisaran harga antara Rp. 18.000 -
20.000 per kilo gramnya. Namun harga ini tidaklah menyebabkan petani
rakyat merugi, mengingat harga tersebut sudah mampu menutupi biasa
produksi maupun perawatan tanamanan.
Alfian menambahkan jika para penyuluh dari Disbun Kutim telah mampu
bersinergi dengan petani di Karangan Hilir untuk menerapkan teknik
sambung samping tanaman kakao. Sehingga menekan pengeluaran petani untuk
biaya pembelian bibit kakao jenis MCC 02 yang biasanya diambil dari
Sulawesi Selatan. Untuk satu bibit sambung, petani di Karangan Hilir
hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp. 15.000, dengan kata lain kesempatan
Kutim sebagai daerah penghasil bibit sambung samping dan sambung pucuk
unggul, di Kalimantan Timur amatlah besar.
"Petani kita tidak sembarangan membuat bibit sambung samping dan
sambung pucuk kakao. Karena pada beberapa tahun terakhir Disbun Kutim,
telah bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(Puslitkoka) Kabupaten Jember jawa Timur, dalam memurnikan kebun entris
kakao sehingga menghasilkan bibit-bibit kakao unggul yang membantu
petani rakyat dalam mempertahankan produktivitas serta kualitas biji
kakao," ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Camat Sangkulirang itu.
Perlu diketahui tantangan utama dalam mengembangkan perkebunan kakao
ialah tingginya harga pupuk, tenaga kerja, dan pembelian pestisida. M.
Alfian sendiri tidak menampik adanya keluhan-keluhan yang muncul di
lapangan terkait mahalnya harga pupuk dan pestisida, namun ia meyakini
seiring dengan terus berlangsungnya pembangunan KIPI Maloy oleh
pemerintah provinsi Kaltim, maka kendala biaya transportasi yang cukup
jauh dan mahal dapat segera teratasi, selain itu mampu mempersingkat
waktu petani dalam menjual hasil panen ke pihak pembeli. (aj)
SUMBER : BONTANG POST, KAMIS, 13 APRIL 2017