Perang Dagang Ancam Bisnis Sawit Indonesia
22 September 2011
Admin Website
Artikel
3873
PONTIANAK--MICOM: Pemimpin Sinar Mas Grup Wilayah Kalimantan
Barat Susanto menegaskan, adanya perang dagang secara perlahan menggerus
prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia.
"Saat ini banyak isu-isu yang disebarkan sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, karena itu masyarakat kita jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya," kata Susanto saat dihubungi dari Pontianak, Rabu (21/9).
Ia menjelaskan, ancaman perang dagang yan berawal dari isu tak benar tentang sawit itu sebenarnya pernah dialami komoditas lain, yakni gula. Dahulu Indonesia salah satu produsen gula terbesar di dunia, tetapi sekarang malah negara pengimpor gula akibat kalah perang dagang.
"Apakah hal itu mau terulang pada pengembangan kelapa sawit yang kini posisi Indonesia sebagai pengekspor crude palm oil (CPO, minyak kelapa sawit) terbesar di dunia, karena kalah perang dagang," kata Susanto.
Data dari Oilworld, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar sejak tahun 2006, dan mengalahkan Malaysia yang dulu menguasai industri sawit dunia. Tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia masih 14 juta ton/tahun, di bawah Malaysia yang saat itu 15 juta ton/tahun.
Di tahun 2006 produksi minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 16,5 juta ton/tahun, sementara produksi minyak sawit Malaysia di bawahnya. Kemudian tahun 2008 produksi Malaysia sebesar 18,5 juta, Indonesia tembus 20 juta ton dan tahun 2009 produksi minyak sawit Indonesia meningkat lagi menjadi 21 juta ton, Malaysia malah menurun.
Menurut Susanto, ancaman perang dagang sudah dimulai. Ia mengutip hasil analisis konsultan sawit terkemuka dari Inggris James Fry, yang meramalkan 2030 daya saing minyak sawit jauh menurun dibandingkan minyak nabati lainnya akibat biaya produksi membengkak.
Menurut James, awal tahun 2000 biaya produksi minyak sawit paling rendah dibandingkan dengan biaya produksi minyak kedelai, rapeseed dan minyak bunga matahari yang diproduksi negara-negara di Eropa dan AS. Biaya produksi minyak sawit sekitar US$220 per ton, setengahnya dari biaya produksi minyak nabati lainnya sekitar US$440 per ton.
James memprediksikan keadaan lebih parah tahun 2030, karena biaya produksi minyak sawit Indonesia akan melonjak mendekati angka US$350 per ton, sedangkan biaya produksi minyak nabati lain terus menurun hingga di bawah biaya produksi minyak sawit Indonesia.
Peningkatan biaya produksi minyak sawit Indonesia, menurut James yang dikutip Susanto, disebabkan banyak faktor, di antaranya beragam isu negatif yang dihembuskan tentang sawit, mulai dari minyak sawit yang mengganggu kesehatan hingga isu lingkungan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
"Tapi, sesungguhnya isu negatif itu hanyalah trik 'perang dagang' dari negara produsen minyak nabati lainnya, yang sadar tidak mampu menyaingi Indonesia dalam produksi minyak kelapa sawit," katanya.
Karena itu, kata Susanto, analisis James hendaknya diantisipasi dan ditanggapi serius oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, agar pengembangan minyak sawit tidak terhalang faktor isu negatif tersebut.
"Saat ini banyak isu-isu yang disebarkan sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, karena itu masyarakat kita jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya," kata Susanto saat dihubungi dari Pontianak, Rabu (21/9).
Ia menjelaskan, ancaman perang dagang yan berawal dari isu tak benar tentang sawit itu sebenarnya pernah dialami komoditas lain, yakni gula. Dahulu Indonesia salah satu produsen gula terbesar di dunia, tetapi sekarang malah negara pengimpor gula akibat kalah perang dagang.
"Apakah hal itu mau terulang pada pengembangan kelapa sawit yang kini posisi Indonesia sebagai pengekspor crude palm oil (CPO, minyak kelapa sawit) terbesar di dunia, karena kalah perang dagang," kata Susanto.
Data dari Oilworld, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar sejak tahun 2006, dan mengalahkan Malaysia yang dulu menguasai industri sawit dunia. Tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia masih 14 juta ton/tahun, di bawah Malaysia yang saat itu 15 juta ton/tahun.
Di tahun 2006 produksi minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 16,5 juta ton/tahun, sementara produksi minyak sawit Malaysia di bawahnya. Kemudian tahun 2008 produksi Malaysia sebesar 18,5 juta, Indonesia tembus 20 juta ton dan tahun 2009 produksi minyak sawit Indonesia meningkat lagi menjadi 21 juta ton, Malaysia malah menurun.
Menurut Susanto, ancaman perang dagang sudah dimulai. Ia mengutip hasil analisis konsultan sawit terkemuka dari Inggris James Fry, yang meramalkan 2030 daya saing minyak sawit jauh menurun dibandingkan minyak nabati lainnya akibat biaya produksi membengkak.
Menurut James, awal tahun 2000 biaya produksi minyak sawit paling rendah dibandingkan dengan biaya produksi minyak kedelai, rapeseed dan minyak bunga matahari yang diproduksi negara-negara di Eropa dan AS. Biaya produksi minyak sawit sekitar US$220 per ton, setengahnya dari biaya produksi minyak nabati lainnya sekitar US$440 per ton.
James memprediksikan keadaan lebih parah tahun 2030, karena biaya produksi minyak sawit Indonesia akan melonjak mendekati angka US$350 per ton, sedangkan biaya produksi minyak nabati lain terus menurun hingga di bawah biaya produksi minyak sawit Indonesia.
Peningkatan biaya produksi minyak sawit Indonesia, menurut James yang dikutip Susanto, disebabkan banyak faktor, di antaranya beragam isu negatif yang dihembuskan tentang sawit, mulai dari minyak sawit yang mengganggu kesehatan hingga isu lingkungan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
"Tapi, sesungguhnya isu negatif itu hanyalah trik 'perang dagang' dari negara produsen minyak nabati lainnya, yang sadar tidak mampu menyaingi Indonesia dalam produksi minyak kelapa sawit," katanya.
Karena itu, kata Susanto, analisis James hendaknya diantisipasi dan ditanggapi serius oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, agar pengembangan minyak sawit tidak terhalang faktor isu negatif tersebut.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, KAMIS, 22 SEPTEMBER 2011