Pemerintah Dorong Produksi CPO
21 April 2011
Admin Website
Artikel
4079
JAKARTA--MICOM: Pemerintah bakal terus mendorong pengusaha untuk
meningkatkan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) secara
berkelanjutan.
Pasalnya, hingga saat ini, CPO jauh lebih kompetitif dibanding minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, rapeseed (biji-bijian), jagung, dan minyak bunga matahari.
Hal tersebut dikatakan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti seusai acara Climate Change, Price Volatility, & Food Security, di Jakarta, Rabu (20/4).
Bayu menjelaskan, sebagai perbandingan, produktivitas CPO pada satu hektare sama dengan 9 hektare produksi minyak kedelai, dan 3 hektare produksi jagung. Atau jika produktivitas CPO mencapai 4 sampai 5 juta ton per hektare, maka minyak kedelai hanya 0,45 ton per hektare, dan minyak jagung rata-ratanya 1 ton per hektare.
"Jadi sebenarnya kalau produksi CPO pada satu hektare menggantikan kedelai, dia bisa menggantikan 9 hektare. Dampak pada lingkungan pasti luasan begitu besar. Produksi biofield juga tidak ada yang lebih produktif ketimbang sawit," ungkap Bayu.
Ditambahkannya, Indonesia saat ini merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Dari 21 juta ton CPO yang diproduksi di tahun 2010, 15 juta ton diekspor ke negara-negara seperti China, India, Bangladesh, Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia. Sementara sisanya sebanyak 6 juta ton untuk kebutuhan di dalam negeri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementan, nilai ekpor perdagangan Indonesia untuk produk CPO mengalami trend peningkatan. Nilai ekpor di tahun 2010 mencapai US$15 miliar. Nilai tersebut lebih tinggi 40% dari tahun 2009 yakni sebesar US$11 miliar. Sedangkan nilai perdagangan ditahun 2011 ditargetkan mencapai US$20 miliar.
Sementara itu, produktivitas tanaman sawit di dalam negeri sekitar 3,5 ton-3,6 ton per hektare. Luas total areal perkebunan sawit di Indonesia hanya 7,5 juta hektare.
Untuk memiliki daya saing di tengah perdagangan bebas, lanjut Bayu, Indonesia tidak sekedar menjual produk mentah CPO. Produksi CPO akan diolah menjadi produk setengah jadi atau jadi.
"Untuk itu, kami terus mendorong para pengusaha untuk meningkatkan produksinya secara berkelanjutan," tukasnya kembali.
Bayu menolak jika dikatakan peningkatan produksi CPO bakal merusak lingkungan. Dia mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, produksi CPO justru ramah lingkungan.
"Kita punya research bersama Malaysia dan para penelitinya dari Eropa. Ternyata hasilnya tidak seburuk yang diberitakan. Kita tak boleh khawatir. Indonesia adalah ekportir sawit terbesar di dunia. Itu adalah kontribusi," tukasnya.
Bila pertimbangannya adalah masalah lingkungan, lanjutnya, maka pemerintah Indonesia berinisiatif bahwa semua pengusaha sawit di Indonesia wajib mengikuti produksi sawit yang berkelanjutan. Artinya, produksi minyak sawit mentah juga turut memperhatikan aspek lingkungan, kesejahteraan petani, dan ekonomi wisata.
"Kita ingin menghasilkan sawit yang baik, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Tengah diujicoba pada 2000 perusahaan, mudah-mudahan hasilnya bagus," katanya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, RABU, 20 APRIL 2011
Pasalnya, hingga saat ini, CPO jauh lebih kompetitif dibanding minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, rapeseed (biji-bijian), jagung, dan minyak bunga matahari.
Hal tersebut dikatakan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti seusai acara Climate Change, Price Volatility, & Food Security, di Jakarta, Rabu (20/4).
Bayu menjelaskan, sebagai perbandingan, produktivitas CPO pada satu hektare sama dengan 9 hektare produksi minyak kedelai, dan 3 hektare produksi jagung. Atau jika produktivitas CPO mencapai 4 sampai 5 juta ton per hektare, maka minyak kedelai hanya 0,45 ton per hektare, dan minyak jagung rata-ratanya 1 ton per hektare.
"Jadi sebenarnya kalau produksi CPO pada satu hektare menggantikan kedelai, dia bisa menggantikan 9 hektare. Dampak pada lingkungan pasti luasan begitu besar. Produksi biofield juga tidak ada yang lebih produktif ketimbang sawit," ungkap Bayu.
Ditambahkannya, Indonesia saat ini merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Dari 21 juta ton CPO yang diproduksi di tahun 2010, 15 juta ton diekspor ke negara-negara seperti China, India, Bangladesh, Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia. Sementara sisanya sebanyak 6 juta ton untuk kebutuhan di dalam negeri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementan, nilai ekpor perdagangan Indonesia untuk produk CPO mengalami trend peningkatan. Nilai ekpor di tahun 2010 mencapai US$15 miliar. Nilai tersebut lebih tinggi 40% dari tahun 2009 yakni sebesar US$11 miliar. Sedangkan nilai perdagangan ditahun 2011 ditargetkan mencapai US$20 miliar.
Sementara itu, produktivitas tanaman sawit di dalam negeri sekitar 3,5 ton-3,6 ton per hektare. Luas total areal perkebunan sawit di Indonesia hanya 7,5 juta hektare.
Untuk memiliki daya saing di tengah perdagangan bebas, lanjut Bayu, Indonesia tidak sekedar menjual produk mentah CPO. Produksi CPO akan diolah menjadi produk setengah jadi atau jadi.
"Untuk itu, kami terus mendorong para pengusaha untuk meningkatkan produksinya secara berkelanjutan," tukasnya kembali.
Bayu menolak jika dikatakan peningkatan produksi CPO bakal merusak lingkungan. Dia mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, produksi CPO justru ramah lingkungan.
"Kita punya research bersama Malaysia dan para penelitinya dari Eropa. Ternyata hasilnya tidak seburuk yang diberitakan. Kita tak boleh khawatir. Indonesia adalah ekportir sawit terbesar di dunia. Itu adalah kontribusi," tukasnya.
Bila pertimbangannya adalah masalah lingkungan, lanjutnya, maka pemerintah Indonesia berinisiatif bahwa semua pengusaha sawit di Indonesia wajib mengikuti produksi sawit yang berkelanjutan. Artinya, produksi minyak sawit mentah juga turut memperhatikan aspek lingkungan, kesejahteraan petani, dan ekonomi wisata.
"Kita ingin menghasilkan sawit yang baik, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Tengah diujicoba pada 2000 perusahaan, mudah-mudahan hasilnya bagus," katanya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, RABU, 20 APRIL 2011