
SAMARINDA. Laju perkembangan tanaman kelapa sawit
di Kaltim sangat pesat dan sawit sebagai komoditas perkebunan merupakan
tanaman yang sangat Lokakarya Skema Remediasi dan Kompensasi RSPO serta
Fasilitasi Pendukung Kompensasi untuk Program Konservasi di Kaltim
produktif. Sedangkan ijin usaha perkebunan yang tersebar di seluruh
wilayah kabupaten dan kota se-Kaltim mencapai 2,6 juta hektar. Namun,
ijin lahan perkebunan seluas 2,6 juta hektar baru termanfaatkan sekitar
1,1 juta hektar berarti 1,5 juta hektar tidak jelas pemanfaatan lahan
usahanya.
Karenanya, Sekretaris Provinsi Kaltim Dr
H Rusmadi meminta instansi terkait terlebih pemerintah kabupaten dan
kota melakukan evaluasi atas ijin-ijin lahan yang telah diterbitkan. Hal
itu ditegaskannya pada, Kamis (9/11). “Jadi 2,6 juta hektar sudah
dikeluarkan ijinnya untuk perkebunan. Tapi faktanya realisasi baru 1,1
juta berarti kemana 1,6 juta hektar. Disbun bersama pemda harus
evaluasi,” katanya.
Menurut dia, perkebunan menjadi salah
satu lokomotif ekonomi Kaltim yang terus dikembangkan namun tetap
memperhatikan lingkungan dan sosial. Kelapa sawit merupakan komoditas
strategis mengingat perannya sebagai penghasil devisa terbesar dari non
migas dan sumber lapangan kerja. Selain itu, kegiatan usaha pemberantas
kemiskinan sebab kegiatan ini sangat terbuka lapangan usaha dan
kesempatan kerja.
Pemerintah telah menetapkan pembangunan
perkebunan berkelanjutan yang berorientasi pada kegiatan usaha yang
tersertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). “Salah satu upaya
kita menerapkan prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan yakni
kebijakan ISPO. Penguasaha harus bisa menaati kebijakan ini sebagai
upaya bersama melaksanakan kegiatan usaha yang memperhatikan lingkungan
dan sosial,” harapnya.
Sementara itu Kepala Dinas Perkebunan
Kaltim Ujang Rachmad mengatakan pemerintah terus mendorong sekaligus
memastikan perusahaan di Kaltim menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
perkebunan berkelanjutan dengan penerapan sertifikasi ISPO dan
RSPO. “Kita ingin memberikan pemahaman mengenai konsep dan perkembangan
prosedur kompensasi dan remediasi RSPO kepada pemangku kepentingan,”
ujar Ujang Rachmad.
Dia berharap pemangku kepentingan
(perusahaan) mengenal konsep compensation support facility (CSF) dan
bagaimana keterlibatan para pemangku kepentingan. Termasuk mampu
merumuskan dan memetakan lokasi potensial di Kaltim untuk implementasi
compensation liabilities perusahaan.
Lokakarya selama dua hari (8-9 November)
diikuti 50 peserta terdiri dinas/instansi yang membidangi perkebunan,
kehutanan, Bappeda, DLH, Gapki, akademisi, GIZ, DDPI Kaltim, WWF, GGGI
Kaltim, Forum KEE Wehea, TNC dan perusahaan sawit. (yans/sul/ri/humasprov)
SUMBER : SEKRETARIAT