Optimis Komoditi Kakao Bertahan
01 Juni 2013
Admin Website
Berita Daerah
3707
NUNUKAN. Selain komoditi rumput laut dan kepala sawit,
komoditi kakao juga sempat menjadi komoditi andalan di Pulau Sebatik.
Kendati tren rumput laut dan kelapa sawit beberapa tahun belakangan "naik daun", perlahan-lahan komoditi yang dijadikan bahan baku cokelat
ini, mulai tergerus dan ditinggalkan.
Informasi yang dihimpun media ini menunjukkan, banyak diantara pemilik kebun kakao lebih memilih mengalihfungsikan kebun mereka menjadi perkebunan sawit. Apalagi Pulau Sebatik sendiri menjadi salah satu kecamatan penghasil kepala sawit yang lumayan besar.
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Nunukan Masniadi mengungkapkan, luas lahan kakao di Pulau Sebatik saat ini sekitar 6.514 hekatre (ha).Jika merujuk kebelakang, luasan perkebunan yang diupdate 2012 lalu itu, mengalami penurunan yang lumayan siginifikan.
"Memang dulu luasan kebun kakao di Sebatik kurang lebih 11 hektare. Tapi beberapa kebun yang sudah begitu tua, sekarang ini ada yang dialihkan ke komoditi lain," ungkap Masniadi.Lanjut dijelaskannya, secara produksi komoditi kakao berada pada level yang lumayan stabil. Jika di tahun 2011 lalu angka produksi mencapai 12.886.5 ton, di 2012 mengalami kenaikan menjadi 12.886.1 ton.
"Angka ini akumulasi satu tahun. Artinya kenaikan tetap ada walaupun tidak terlalu siginifikan," ujarnya.Masniadi kemudian memastikan, komoditi kakao yang hanya berkembang di Pulau Sebatik bakal dipertahankan untuk tetap eksis berproduksi. Apalagi permintaan pasar terhadap komoditi ini cukup tinggi tiap tahunnya.Harga satu kilogram kakao kering saat ini berada dikisaran Rp 16 ribu.
Harga ini merupakan harga rata-rata yang didapatkan masyarakat dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Target pasar kakao sendiri juga lumayan menjanjikan. Masyarakat lebih cenderung menjual hasil produksi mereka ke Tawau, Malaysia lantaran lebih dekat dan low budget.
"Memang ada upaya untuk memasarkan kakao ini di dalam negeri. Namun karena pertimbangan letak geografis dan tingginya biaya pengiriman, masyarakat lebih cenderung memilih memasarkan di negara tetangga," tukas Masniadi.Ransangan terhadap petani juga tidak henti-hentinya dilakukan dishutbun. Mulai dari bimbingan Sumber Daya Manusia (SDM), pendekatan person to person kepada petani, bantuan pupuk hingga pembinaan secara berkala.
"Kita selalu berusaha memotifasi masyarakat untuk mempertahankan kebun mereka. Komoditi ini harus tetap ada sebagai salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Nunukan," pungkasnya.
SUMBER : RADAR TARAKAN, JUMAT, 31 MEI 2013
Informasi yang dihimpun media ini menunjukkan, banyak diantara pemilik kebun kakao lebih memilih mengalihfungsikan kebun mereka menjadi perkebunan sawit. Apalagi Pulau Sebatik sendiri menjadi salah satu kecamatan penghasil kepala sawit yang lumayan besar.
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Nunukan Masniadi mengungkapkan, luas lahan kakao di Pulau Sebatik saat ini sekitar 6.514 hekatre (ha).Jika merujuk kebelakang, luasan perkebunan yang diupdate 2012 lalu itu, mengalami penurunan yang lumayan siginifikan.
"Memang dulu luasan kebun kakao di Sebatik kurang lebih 11 hektare. Tapi beberapa kebun yang sudah begitu tua, sekarang ini ada yang dialihkan ke komoditi lain," ungkap Masniadi.Lanjut dijelaskannya, secara produksi komoditi kakao berada pada level yang lumayan stabil. Jika di tahun 2011 lalu angka produksi mencapai 12.886.5 ton, di 2012 mengalami kenaikan menjadi 12.886.1 ton.
"Angka ini akumulasi satu tahun. Artinya kenaikan tetap ada walaupun tidak terlalu siginifikan," ujarnya.Masniadi kemudian memastikan, komoditi kakao yang hanya berkembang di Pulau Sebatik bakal dipertahankan untuk tetap eksis berproduksi. Apalagi permintaan pasar terhadap komoditi ini cukup tinggi tiap tahunnya.Harga satu kilogram kakao kering saat ini berada dikisaran Rp 16 ribu.
Harga ini merupakan harga rata-rata yang didapatkan masyarakat dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Target pasar kakao sendiri juga lumayan menjanjikan. Masyarakat lebih cenderung menjual hasil produksi mereka ke Tawau, Malaysia lantaran lebih dekat dan low budget.
"Memang ada upaya untuk memasarkan kakao ini di dalam negeri. Namun karena pertimbangan letak geografis dan tingginya biaya pengiriman, masyarakat lebih cenderung memilih memasarkan di negara tetangga," tukas Masniadi.Ransangan terhadap petani juga tidak henti-hentinya dilakukan dishutbun. Mulai dari bimbingan Sumber Daya Manusia (SDM), pendekatan person to person kepada petani, bantuan pupuk hingga pembinaan secara berkala.
"Kita selalu berusaha memotifasi masyarakat untuk mempertahankan kebun mereka. Komoditi ini harus tetap ada sebagai salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Nunukan," pungkasnya.
SUMBER : RADAR TARAKAN, JUMAT, 31 MEI 2013