
SAMARINDA. Meski harga karet saat ini sedang sulit
akibat kebutuhan pasar global menurun, setidaknya Kaltim memiliki jenis
pertanian lain yang dapat diandalkan. Lada, kini dikatakan berpotensi
meningkatkan keuntungan. Saat ini pemerintah menggarap perbaikan
komoditas ini. Bersama enam negara lainnya, Pemprov Kaltim berupaya
mengondisikan potensi lada.
Enam negara tersebut adalah anggota
International Pepper Community (IPC), yaitu Belgia, Brasil, Vietnam, Sri
Lanka, termasuk Indonesia. Pada 16 Maret, IPC mengunjungi perkebunan
lada di Desa Batuah di Kecamatan Loa Janan, Kukar.
Diketahui, sampai 2015, luas areal
perkebunan lada Kukar mencapai 5.491,79 hektare, dengan produksi
mencapai lebih dari 3.208 kilogram, dan memiliki 3.442 petani dari
kepala keluarga yang tersebar di 18 kecamatan. Khusus di Loa Janan, luas
areal lada 3.990,24 hektare, dengan produksi lebih dari 2.578 kilogram,
dengan 2.127 petani.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim
Etnawati menuturkan, petani lada dianjurkan menerapkan konservasi tata
kelola tanah dan air untuk mencegah terkikisnya unsur hara tanah di
lahan perkebunan.
"Kami menekankan tentang budi daya lada
organik di Loa Janan itu, supaya tidak lagi menggunakan tajar mati.
Juga, tidak lagi diperbolehkan untuk gunakan kayu ulin, untuk
menghindari isu perusakan lingkungan. Pupuk pun mesti gunakan pupuk
organik, tak lagi pupuk kimia. Bahkan, bibit juga harus yang
bersertifikat. Seperti bibit asal Samarinda, yakni Malonan 1," ujarnya.
Hal tersebut ditekankan, kata Etnawati,
supaya penyakit lada pucuk tidak lagi muncul. "Ini sudah melalui
penelitian di Bogor dan Bali, tentang tanam rempah dan obat-obatan.
Dampak penggunaan regulasi tersebut, akan baik untuk produksi lada.
Nantinya juga akan diterbitkan IPC tentang aturan budi daya lada
tersebut. Sehingga menjadi standar untuk penanaman lada di enam negara
ini, bahkan dunia," imbuhnya.
Dipaparkannya, saat ini harga lada
sedang berada dalam taraf nyaman. Yakni, lada putih seharga Rp 150 ribu
per kilogram (kg), dan lada Hitam Rp 95 ribu per kg.
Kepala Bidang Produksi Disbun Kaltim
Sukardi menerangkan potensi lada tersebut lebih tinggi saat ini,
dibanding karet maupun sawit. Sebab, kebutuhannya lebih tinggi ketimbang
produksinya. “Hal itu merupakan peluang yang harus ditangkap
pengusaha,” ujarnya. (mon/lhl/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 11 APRIL 2016