Khawatir Harga Jatuh, Petani Lada Enggan Fokus
12 Januari 2016
Admin Website
Berita Daerah
4626
SAMARINDA. Pengembangan lada di Kaltim perlu
perhatian lebih besar, terutama untuk industri hilir. Sempat berjaya
sebagai pengekspor, kini produksi di Benua Etam malah bergantung pada daerah lain sebagai pengolah.
Seperti diketahui, puluhan tahun silam, lada menjadi salah satu komoditas ekspor vital Kaltim. Bahkan menjadi patokan mutu dengan sebutan white pepper Samarinda.
Namun, situasi berubah sejak harganya jatuh di pasaran dunia, sampai pada titik terendah. Hal tersebut diperburuk dengan bencana kebakaran lahan dampak kemarau panjang pada 1982 lalu. Kaltim pun tak lagi menjadi sebagai eksportir lada, dan hanya menjadi penyuplai pusta pengolahan yang berlokasi di Jawa Timur dan Sulawesi, untuk kemudian diekspor.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah kembali mengupayakan kejayaan lada Kaltim. Pertanaman lada rakyat kembali diintensifkan. Dorongan juga datang dari kondisi pasar, karena harga yang naik signifikan.
"Pada 2015 lalu, lada lokal Kaltim diusulkan untuk dilepas, setelah diteliti tim sejak 2013 dengan usulan nama Malonan 1. Nama tersebut ini terinspirasi dari dua lokasi penelitian yaitu Muara Badak dan Loa Janan. Hingga akhirnya dinyatakan lulus sebagai benih unggul nasional, dan dilepas Menteri Pertanian RI," ucap Kabid Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi.
Ditambahkannya, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 48/Kpts/KB.120/7/2015, tertanggal 6 Juli 2015 tentang pelepasan lada varietas Malonan 1 sebagai Varietas Unggul. Keunggulan lada Malonan 1 ini, ujarnya, adalah dapat berbuah sepanjang tahun, dengan potensi produksi genetis 2,17 ton per ha dalam setahun. Kandungan minyak atsiri, kandung kadar piperin, kadar oleoresin dalam tanaman tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan lada varietas Petaling 1, pendahulunya.
Sayangnya, lanjut dia, belum banyak warga Kaltim yang mau fokus mengelola tanaman yang juga bernama sahang itu. "Mereka takut harganya jatuh. Jadi banyak yang menggarap lada sambil menjalankan usaha lain. Tak fokus. Anak-anak petani juga banyak yang sekolah tinggi, sehingga enggan meneruskan bisnis orangtuanya," lanjut Sukardi.
Diketahui, luas tanaman lada di Kaltim kini mencapai 9.497 hektare (ha) dengan produksi 6.704 ton per tahun. Ini melibatkan tenaga kerja perkebunan (TKP) sebanyak 9.227 orang. Pada 2013, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak memerintahkan kepada Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim bersama Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Medan, Balai Penelitian Rempah dan Obat Bogor, untuk meneliti tentang lada lokal Kaltim.
Sejak 1980, sambung dia, masuk kegiatan Proyek Peremajaan Rehabilitasi Tanaman Perkebunan Ekspor (PRPTE) Dirjen Perkebunan. Pada saat itu tanaman lada mulai dibudidayakan kaum pendatang, dari Sulawesi. "Mereka lebih telaten merawat lada. Sampai saat ini, kami masih berupaya membangkitkan lagi potensi lada Kaltim," ungkapnya. (*/mon/man/k18)
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016
Seperti diketahui, puluhan tahun silam, lada menjadi salah satu komoditas ekspor vital Kaltim. Bahkan menjadi patokan mutu dengan sebutan white pepper Samarinda.
Namun, situasi berubah sejak harganya jatuh di pasaran dunia, sampai pada titik terendah. Hal tersebut diperburuk dengan bencana kebakaran lahan dampak kemarau panjang pada 1982 lalu. Kaltim pun tak lagi menjadi sebagai eksportir lada, dan hanya menjadi penyuplai pusta pengolahan yang berlokasi di Jawa Timur dan Sulawesi, untuk kemudian diekspor.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah kembali mengupayakan kejayaan lada Kaltim. Pertanaman lada rakyat kembali diintensifkan. Dorongan juga datang dari kondisi pasar, karena harga yang naik signifikan.
"Pada 2015 lalu, lada lokal Kaltim diusulkan untuk dilepas, setelah diteliti tim sejak 2013 dengan usulan nama Malonan 1. Nama tersebut ini terinspirasi dari dua lokasi penelitian yaitu Muara Badak dan Loa Janan. Hingga akhirnya dinyatakan lulus sebagai benih unggul nasional, dan dilepas Menteri Pertanian RI," ucap Kabid Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi.
Ditambahkannya, hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 48/Kpts/KB.120/7/2015, tertanggal 6 Juli 2015 tentang pelepasan lada varietas Malonan 1 sebagai Varietas Unggul. Keunggulan lada Malonan 1 ini, ujarnya, adalah dapat berbuah sepanjang tahun, dengan potensi produksi genetis 2,17 ton per ha dalam setahun. Kandungan minyak atsiri, kandung kadar piperin, kadar oleoresin dalam tanaman tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan lada varietas Petaling 1, pendahulunya.
Sayangnya, lanjut dia, belum banyak warga Kaltim yang mau fokus mengelola tanaman yang juga bernama sahang itu. "Mereka takut harganya jatuh. Jadi banyak yang menggarap lada sambil menjalankan usaha lain. Tak fokus. Anak-anak petani juga banyak yang sekolah tinggi, sehingga enggan meneruskan bisnis orangtuanya," lanjut Sukardi.
Diketahui, luas tanaman lada di Kaltim kini mencapai 9.497 hektare (ha) dengan produksi 6.704 ton per tahun. Ini melibatkan tenaga kerja perkebunan (TKP) sebanyak 9.227 orang. Pada 2013, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak memerintahkan kepada Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim bersama Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Medan, Balai Penelitian Rempah dan Obat Bogor, untuk meneliti tentang lada lokal Kaltim.
Sejak 1980, sambung dia, masuk kegiatan Proyek Peremajaan Rehabilitasi Tanaman Perkebunan Ekspor (PRPTE) Dirjen Perkebunan. Pada saat itu tanaman lada mulai dibudidayakan kaum pendatang, dari Sulawesi. "Mereka lebih telaten merawat lada. Sampai saat ini, kami masih berupaya membangkitkan lagi potensi lada Kaltim," ungkapnya. (*/mon/man/k18)
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016