
SAMARINDA. Pengembangan lada di Kaltim perlu
perhatian lebih besar, terutama untuk industri hilir. Sempat berjaya
sebagai pengekspor, kini produksi di Benua Etam malah bergantung pada daerah lain sebagai pengolah.
Seperti diketahui, puluhan tahun silam,
lada menjadi salah satu komoditas ekspor vital Kaltim. Bahkan menjadi
patokan mutu dengan sebutan white pepper Samarinda.
Namun, situasi berubah sejak harganya
jatuh di pasaran dunia, sampai pada titik terendah. Hal tersebut
diperburuk dengan bencana kebakaran lahan dampak kemarau panjang pada
1982 lalu. Kaltim pun tak lagi menjadi sebagai eksportir lada, dan hanya
menjadi penyuplai pusta pengolahan yang berlokasi di Jawa Timur dan
Sulawesi, untuk kemudian diekspor.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah
kembali mengupayakan kejayaan lada Kaltim. Pertanaman lada rakyat
kembali diintensifkan. Dorongan juga datang dari kondisi pasar, karena
harga yang naik signifikan.
"Pada 2015 lalu, lada lokal Kaltim
diusulkan untuk dilepas, setelah diteliti tim sejak 2013 dengan usulan
nama Malonan 1. Nama tersebut ini terinspirasi dari dua lokasi
penelitian yaitu Muara Badak dan Loa Janan. Hingga akhirnya dinyatakan
lulus sebagai benih unggul nasional, dan dilepas Menteri Pertanian RI,"
ucap Kabid Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi.
Ditambahkannya, hal ini sesuai dengan
Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 48/Kpts/KB.120/7/2015, tertanggal 6
Juli 2015 tentang pelepasan lada varietas Malonan 1 sebagai Varietas
Unggul. Keunggulan lada Malonan 1 ini, ujarnya, adalah dapat berbuah
sepanjang tahun, dengan potensi produksi genetis 2,17 ton per ha dalam
setahun. Kandungan minyak atsiri, kandung kadar piperin, kadar oleoresin
dalam tanaman tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan lada
varietas Petaling 1, pendahulunya.
Sayangnya, lanjut dia, belum banyak
warga Kaltim yang mau fokus mengelola tanaman yang juga bernama sahang
itu. "Mereka takut harganya jatuh. Jadi banyak yang menggarap lada
sambil menjalankan usaha lain. Tak fokus. Anak-anak petani juga banyak
yang sekolah tinggi, sehingga enggan meneruskan bisnis orangtuanya,"
lanjut Sukardi.
Diketahui, luas tanaman lada di Kaltim
kini mencapai 9.497 hektare (ha) dengan produksi 6.704 ton per tahun.
Ini melibatkan tenaga kerja perkebunan (TKP) sebanyak 9.227 orang. Pada
2013, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak memerintahkan kepada Dinas
Perkebunan (Disbun) Kaltim bersama Balai Besar Perbenihan dan Proteksi
Tanaman Medan, Balai Penelitian Rempah dan Obat Bogor, untuk meneliti
tentang lada lokal Kaltim.
Sejak 1980, sambung dia, masuk kegiatan
Proyek Peremajaan Rehabilitasi Tanaman Perkebunan Ekspor (PRPTE) Dirjen
Perkebunan. Pada saat itu tanaman lada mulai dibudidayakan kaum
pendatang, dari Sulawesi. "Mereka lebih telaten merawat lada. Sampai
saat ini, kami masih berupaya membangkitkan lagi potensi lada Kaltim,"
ungkapnya. (*/mon/man/k18)
DIKUTIP DARI KALTIM POST, SENIN, 11 JANUARI 2016