JAKARTA (ANTARA
News). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak
pemerintah meninjau ulang rencana perubahan Bea Keluar (BK) CPO (crude palm oil) agar lebih adil, proporsional, dan tidak memberatkan petani serta produsen sawit.
"Kami
sampaikan seruan itu karena BK progresif yang dikenakan selama ini
memberikan dampak negatif kepada industri sawit nasional," kata Direktur
Eksekutif GAPKI, Fadhil Hasan, kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Fadhil
mengatakan, pihaknya menyampaikan seruan itu sehubungan dengan rencana
Pemerintah yang akan mengeluarkan peraturan baru tentang BK CPO dalam
waktu dekat ini.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam skema BK yang tetap progresif.
"Perubahan hanya terjdi pada batas bawah menjadi 750 dolar AS per ton dan tarif BK menjadi antara 15-25 persen," katanya.
Menurut dia, penerapan BK Progresif selama ini memberikan dampak
negatif, antara lain daya saing industri CPO menurun dibanding minyak
nabati lain di pasar internasional.
Selain itu, tarif progresif menjadi disinsentif karena sekalipun
harga CPO tinggi para pelaku industri kelapa sawit tidak termotivasi
untuk meningkatkan efisiensinya.
Kemudian redistribusi pendapatan dari produsen CPO dan petani ke
konsumen (industri pengolahan produk turunan CPO) menjadi tidak lancar
karena produsen dan petani tidak mampu menggeser beban tersebut ke
konsumen.
BK Progresif hanya memberi proteksi sementara atau subsidi terhadap
industri pengolahan produk turunan CPO yang tidak berdaya saing.
Selanjutnya, tambahnya, industri yang tidak efisien akan selalu
tergantung pada proteksi atau subsidi Pemerintah sehingga akan sulit
berkembang.
"BK Progresif menjadi salah satu penyebab spekulasi ekspor dan berdampak pada kelangkaan CPO di pasar domestik," katanya.
Pengenaan BK progresif hanya menambah beban ekonomi biaya tinggi
karena berbagai pungutan berupa PBB, PPh pasal 22, PPN, dan restribusi
sudah menjadi beban produsen.
Untuk itu GAPKI meminta pemerintah mengembalikan sebagian dana hasil BK CPO langsung kepada industri sawit.
Menurut dia, sudah selayaknya pelaku industri sawit nasional dari
hulu hingga hilir memperoleh timbal balik yang dapat berupa riset dan
pengembangan serta pembangunan infrastruktur berupa jalan, tangki timbun
dan pelabuhan CPO di sentra-sentra produksi sawit.
BK CPO diharapkan dapat pula membantu perkebunan rakyat yang dimiliki
petani guna membiayai penanaman kembali lahan sawit, subsidi pupuk dan
penyediaan benih unggul.
Tiga Opsi
Sehubungan dengan itu, Gapki mengusulkan tiga opsi, pertama opsi
tarif BK flat antara 3-5 persen pada tingkat harga 750-1.250 dolar per
ton dan apabila harga di atas 1.250 per ton maka dikenakan tambahan BK
sebesar 5.0 persen dari selisih harga ( 1.250 per ton dikurangi 750 per
ton).
Kemudian, tambahnya, BK Progresif di mana tarif awal BK 5 persen
(pada tingkat harga 1.250 dolar per ton -750 per ton) dan setiap
kenaikan 50 dolar per ton dikenakan tambahan tarif sebesar 1,5 persen
dari selisih harga tersebut ( 800-750 dolar per ton).
Opsi BK yang incremental di mana sebesar 1,5 persen pada tingkat
harga 750 per ton -800 per ton dan setiap kenaikan 50 per ton dikenakan
tambahan BK sebesar 1,5 persen dengan batas atas sebesar 15 persen pada
tingkat harga lebih besar dari 1.250 per ton.
Dengan tiga opsi BK tersebut dan pemanfaatan dana BK yang sebagaimana
usulan Gapki, maka diharapkan BK akan menjadi instrumen kebijakan yang
lebih akomodatif terhadap semua kepentingan stakeholders, adil dan
proporsional.
DIKUTIP DARI ANTARA NEWS, KAMIS, 21 JULI 2011