Jakarta -
Permintaan minyak sawit global di 2011 tetap akan meningkat akibat
penurunan produksi minyak kedelai. Namun karena tidak diimbangi dengan
produksi yang cukup, harga CPO bakal bertahan di US$ 1.000-1.200/ton.
Demikian
disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan dalam siaran pers, Senin (24/1/2011).
"Beberapa
analis dunia memperkirakan kebutuhan minyak sawit dunia akan bertambah
antara 2-3 juta ton pada 2011. Walaupun permintaan naik, diperkirakan
suplai minyak sawit tidak dapat mengimbangi permintaan, sehingga harga
CPO akan tetap bertahan antara US$ 1.000-1.200/ton sampai semester
I-2011," tutur Fadhil.
Meski begitu, Fadhil mengatakan, industri
sawit Indonesia mengalami tujuh hambatan utama di 2011. Penambahan
produksi minyak sawit dunia diperkirakan mencapai 2,5 juta ton di mana
kontribusi produksi CPO Indonesia berkisar antara 1,8-2 juta ton.
Tujuh
hambatan tersebut membuat industri sawit akan kesulitan melakukan
ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut
tidak dihilangkan.
Hambatan tersebut adalah pertama pelaku
sawit menghadapi masalah lahan bagi pengembangan kebun baru yang
diakibatkan ketidaktuntasan masalah tata ruang nasional dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
"Selain, adanya ketidakpastian
hukum terhadap status legalitas lahan. Kondisi ini membuat pemegang
konsesi dan investor memilih sikap 'wait and see' yang tentu saja akan
berdampak kepada tingkat ekspansi lahan," ujar Fadhil.
Kedua,
kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut malahan dapat
mempersulit penuntasan masalah lahan yang sebelumnya telah dihadapkan
dengan masalah RTRWP. Dalam pandangan Gapki, Inpres mengenai moratorium
akan bertabrakan dengan regulasi lain seperti UU Nomor 41 Tahun 1999
mengenai Kehutanan. Atas dasar itulah, kebijakan moratorium menjadi
kontraproduktif bagi pengembangan investasi kelapa sawit.
"Meskipun
pemerintah menyediakan lahan terdegradasi seluas 35,2 juta ha tetapi
status areal tersebut masih meragukan karena termasuk kawasan hutan,"
jelas Fadhil.
Ketiga, bea keluar CPO yang tinggi
dan bersifat progresif seperti berlaku sekarang ini terbukti tidak
maksimal untuk menekan volume ekspor CPO dan belum mampu mendorong
pengembangan industri hilir dalam negeri.
Sebaliknya, sistem bea
keluar diyakini tidak adil bagi produsen bahan baku baik perkebunan
negara/swasta maupun petani rakyat karena 'tidak menikmati' kenaikan
margin yang seharusnya didapatkan dari tingginya harga CPO dunia saat
ini. Jadi tidak tepat apabila bea keluar dijadikan instrumen utama
karena sebenarnya industri hilir lebih membutuhkan insentif yang tepat
dan menarik.
Keempat, pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang mengarah ke Indonesia Timur kurang didukung
infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan. Semestinya terdapat satu
pelabuhan ekspor CPO di Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO ke
luar negeri. Dengan pertimbangan, total produksi CPO dari wilayah
Kalimantan dan Sulawesi telah mencapai 30% dari produksi nasional.
"Diharapkan
pula pembangunan klaster industri segera direalisasikan untuk
pengembangan industri hilir kelapa sawit," kata Fadhil.
Kelima,
pelaku usaha sawit merasa dirugikan dengan penerapan aturan perpajakan
mengenai PPn atas produk primer TBS. Pasalnya, PPn TBS selama ini
dibebaskan sehingga pajak masukan atas barang-barang faktor produksi
tidak bisa dikreditkan dan menjadi beban tambahan. Akibatnya,
menimbulkan pajak berganda (double taxation) kepada perusahaan yang
terintegrasi (produksi-pengolahan).
Keenam,
kampanye anti-sawit tetap berlangsung bahkan ada kemungkinan semakin
kuat tekanan yang diberikan kepada pelaku industri sawit. Tema kampanye
anti-sawit masih dikaitkan dengan isu perubahan iklim maupun kerusakan
lingkungan secara umum.
Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin sistematik yang tidak
saja dilakukan oleh NGO saja melainkan oleh group consumer tertentu dan
beberapa negara di Uni Eropa, lewat pemberlakukan standar baru dalam
perdagangan sawit dan menerapkan aturan yang berbentuk non-tariff
barier.
Ketujuh, Indonesia harus melakukan
program mitigasi perubahan iklim dengan kekuatan sendiri tanpa
melibatkan bantuan asing. Pelibatan dana asing hanya akan membuat
Indonesia makin tergantung pada negara lain, sementara dana bantuan
asing belum tentu memberikan dampak langsung pada penyerapan tenaga
kerja dan pengurangan keniskinan.
Mencermati peningkatan
permintaan pasar minyak nabati dunia yang terus meningkat dan melihat
bahwa semua minyak nabati dunia melakukan ekspansi produksi, maka minyak
sawit Indonesia tidak boleh berhenti ekspansi jika tidak mau kehilangan
peluang pasar dan kehilangan momentum membangun perekonomian nasional.
"Oleh
karena itu, semestinya pemerintah membuat iklim yang kondusif dengan
membuat terobosan kebijakan sebagai upaya mengatasi hambatan yang
dihadapi pelaku industri sawit nasional," tukas Fadhil.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 24 JANUARI 2011