
JAKARTA. Menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit atau crude palm oil
(CPO) terbesar di dunia ternyata tak menjamin Indonesia dengan mudah
menjual produk CPO ke berbagai negara, terutama pasar Uni Eropa.
Kampanye negatif yang dilancarkan beberapa negara kurang diimbangi
dengan promosi untuk pengenalan produk CPO yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
Di Eropa, misalnya, kampanye negatif
terhadap CPO sejatinya telah berkembang sejak tiga tahun lalu dan hingga
kini belum mereda. Terakhir adalah Pemerintah Prancis bakal menerapkan
bea masuk tinggi produk CPO.
Berdasarkan informasi, 80 persen
masyarakat Prancis memandang CPO tidak ramah lingkungan. Persentase itu
naik tipis ketimbang dua tahun lalu yang mencapai 90 persen.
Mestinya, hal ini tak terjadi lagi jika
eksportir CPO ke Uni Eropa menyadari pentingnya promosi produk CPO yang
ramah lingkungan. "Setelah pajak CPO di Prancis itu jelas arahnya, kita
harus genjot promosi tersebut," kata Thomas Trikasih Lembong, Menteri
Perdagangan.
Memang, kata Tom Lembong, pasar CPO
Indonesia ke Uni Eropa masih di bawah Tiongkok, India, dan Pakistan.
Tapi, jika bisa diterima pasar Uni Eropa, citra CPO Indonesia akan
meningkat.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit
Indonesia menyatakan bahwa eksportir CPO ke Uni Eropa selama ini masih
menggunakan metode promosi tertutup. Artinya, hanya promosi kepada
pembeli CPO di negara tersebut. Maklum, meski sama-sama anggota Uni
Eropa, tapi terkadang kampanye negatif yang diusung masing-masing negara
berbeda, meski ujungnya menyoal ramah lingkungan.
Nah, menurut Derom, seharusnya promosi
dilakukan dengan melengkapi produk CPO dengan berbagai sertifikat yang
menunjukkan ramah lingkungan. Saat ini, ekspor CPO ke Uni Eropa
menggunakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan
Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini belum
termasuk komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang dibentuk
perusahaan eksportir CPO raksasa sejak 2014 silam.
Derom menyatakan, ke depan promosi ke
Uni Eropa ini harus semakin ditingkatkan dan mungkin bisa dijajal lewat
pemasangan iklan. "Sehingga informasinya menjangkau masyarakat Uni Eropa
dan lebih komprehensif," katanya.
Efek kebakaran hutan
Namun, Jefri Gideon Saragih, Direktur
Eksekutif Sawit Watch mengakui bahwa CPO Indonesia kekurangan amunisi
promosi di pasar ekspor. Sebab, ISPO, RSPO, maupun IPOP tidak kuat
mengemas citra ramah lingkungan CPO Indonesia karena tak mendapat
dukungan dari pemerintah. "Pemerintah ikut sibuk mengampanyekan sawit
yang berkelanjutan, tapi tiap tahun terjadi kebakaran hutan dan
deforestasi yang disorot dunia," ucapnya.
Menurut Jefri, pemerintah harus ikut
mempromosikan Badan Restorasi Gambut untuk memperbaiki citra CPO
Indonesia di mata dunia. "Kalau perlu, kita meningkatkan standar RSPO
menjadi RSPO Plus atau RSPO Next," imbuhnya.
Togar Sitanggang, Corporate Affair
Manager Musim Mas Group ikut mempertanyakan posisi pemerintah selama ini
dalam hal promosi. Pasalnya, produk CPO Indonesia telah menjadi
bulan-bulanan pihak internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah sendiri memang baru mulai
program promosi CPO di tahun ini. Jamil Musanif, Direktur Perdagangan
Internasional Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan, tahun ini
pemerintah gencar melakukan diplomasi ke berbagai negara tentang CPO
berkelanjutan. (ant/lhl/k15)
SUMBER ; KALTIM POST, SABTU, 12 MARET 2016