Ekspor CPO RI Terkendala Promosi
16 Maret 2016
Admin Website
Berita Nasional
4108
JAKARTA. Menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit atau crude palm oil
(CPO) terbesar di dunia ternyata tak menjamin Indonesia dengan mudah
menjual produk CPO ke berbagai negara, terutama pasar Uni Eropa.
Kampanye negatif yang dilancarkan beberapa negara kurang diimbangi
dengan promosi untuk pengenalan produk CPO yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
Di Eropa, misalnya, kampanye negatif terhadap CPO sejatinya telah berkembang sejak tiga tahun lalu dan hingga kini belum mereda. Terakhir adalah Pemerintah Prancis bakal menerapkan bea masuk tinggi produk CPO.
Berdasarkan informasi, 80 persen masyarakat Prancis memandang CPO tidak ramah lingkungan. Persentase itu naik tipis ketimbang dua tahun lalu yang mencapai 90 persen.
Mestinya, hal ini tak terjadi lagi jika eksportir CPO ke Uni Eropa menyadari pentingnya promosi produk CPO yang ramah lingkungan. "Setelah pajak CPO di Prancis itu jelas arahnya, kita harus genjot promosi tersebut," kata Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan.
Memang, kata Tom Lembong, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih di bawah Tiongkok, India, dan Pakistan. Tapi, jika bisa diterima pasar Uni Eropa, citra CPO Indonesia akan meningkat.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia menyatakan bahwa eksportir CPO ke Uni Eropa selama ini masih menggunakan metode promosi tertutup. Artinya, hanya promosi kepada pembeli CPO di negara tersebut. Maklum, meski sama-sama anggota Uni Eropa, tapi terkadang kampanye negatif yang diusung masing-masing negara berbeda, meski ujungnya menyoal ramah lingkungan.
Nah, menurut Derom, seharusnya promosi dilakukan dengan melengkapi produk CPO dengan berbagai sertifikat yang menunjukkan ramah lingkungan. Saat ini, ekspor CPO ke Uni Eropa menggunakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini belum termasuk komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang dibentuk perusahaan eksportir CPO raksasa sejak 2014 silam.
Derom menyatakan, ke depan promosi ke Uni Eropa ini harus semakin ditingkatkan dan mungkin bisa dijajal lewat pemasangan iklan. "Sehingga informasinya menjangkau masyarakat Uni Eropa dan lebih komprehensif," katanya.
Efek kebakaran hutan
Namun, Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengakui bahwa CPO Indonesia kekurangan amunisi promosi di pasar ekspor. Sebab, ISPO, RSPO, maupun IPOP tidak kuat mengemas citra ramah lingkungan CPO Indonesia karena tak mendapat dukungan dari pemerintah. "Pemerintah ikut sibuk mengampanyekan sawit yang berkelanjutan, tapi tiap tahun terjadi kebakaran hutan dan deforestasi yang disorot dunia," ucapnya.
Menurut Jefri, pemerintah harus ikut mempromosikan Badan Restorasi Gambut untuk memperbaiki citra CPO Indonesia di mata dunia. "Kalau perlu, kita meningkatkan standar RSPO menjadi RSPO Plus atau RSPO Next," imbuhnya.
Togar Sitanggang, Corporate Affair Manager Musim Mas Group ikut mempertanyakan posisi pemerintah selama ini dalam hal promosi. Pasalnya, produk CPO Indonesia telah menjadi bulan-bulanan pihak internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah sendiri memang baru mulai program promosi CPO di tahun ini. Jamil Musanif, Direktur Perdagangan Internasional Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan, tahun ini pemerintah gencar melakukan diplomasi ke berbagai negara tentang CPO berkelanjutan. (ant/lhl/k15)
SUMBER ; KALTIM POST, SABTU, 12 MARET 2016
Di Eropa, misalnya, kampanye negatif terhadap CPO sejatinya telah berkembang sejak tiga tahun lalu dan hingga kini belum mereda. Terakhir adalah Pemerintah Prancis bakal menerapkan bea masuk tinggi produk CPO.
Berdasarkan informasi, 80 persen masyarakat Prancis memandang CPO tidak ramah lingkungan. Persentase itu naik tipis ketimbang dua tahun lalu yang mencapai 90 persen.
Mestinya, hal ini tak terjadi lagi jika eksportir CPO ke Uni Eropa menyadari pentingnya promosi produk CPO yang ramah lingkungan. "Setelah pajak CPO di Prancis itu jelas arahnya, kita harus genjot promosi tersebut," kata Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan.
Memang, kata Tom Lembong, pasar CPO Indonesia ke Uni Eropa masih di bawah Tiongkok, India, dan Pakistan. Tapi, jika bisa diterima pasar Uni Eropa, citra CPO Indonesia akan meningkat.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia menyatakan bahwa eksportir CPO ke Uni Eropa selama ini masih menggunakan metode promosi tertutup. Artinya, hanya promosi kepada pembeli CPO di negara tersebut. Maklum, meski sama-sama anggota Uni Eropa, tapi terkadang kampanye negatif yang diusung masing-masing negara berbeda, meski ujungnya menyoal ramah lingkungan.
Nah, menurut Derom, seharusnya promosi dilakukan dengan melengkapi produk CPO dengan berbagai sertifikat yang menunjukkan ramah lingkungan. Saat ini, ekspor CPO ke Uni Eropa menggunakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO). Sertifikasi ini belum termasuk komitmen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang dibentuk perusahaan eksportir CPO raksasa sejak 2014 silam.
Derom menyatakan, ke depan promosi ke Uni Eropa ini harus semakin ditingkatkan dan mungkin bisa dijajal lewat pemasangan iklan. "Sehingga informasinya menjangkau masyarakat Uni Eropa dan lebih komprehensif," katanya.
Efek kebakaran hutan
Namun, Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengakui bahwa CPO Indonesia kekurangan amunisi promosi di pasar ekspor. Sebab, ISPO, RSPO, maupun IPOP tidak kuat mengemas citra ramah lingkungan CPO Indonesia karena tak mendapat dukungan dari pemerintah. "Pemerintah ikut sibuk mengampanyekan sawit yang berkelanjutan, tapi tiap tahun terjadi kebakaran hutan dan deforestasi yang disorot dunia," ucapnya.
Menurut Jefri, pemerintah harus ikut mempromosikan Badan Restorasi Gambut untuk memperbaiki citra CPO Indonesia di mata dunia. "Kalau perlu, kita meningkatkan standar RSPO menjadi RSPO Plus atau RSPO Next," imbuhnya.
Togar Sitanggang, Corporate Affair Manager Musim Mas Group ikut mempertanyakan posisi pemerintah selama ini dalam hal promosi. Pasalnya, produk CPO Indonesia telah menjadi bulan-bulanan pihak internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah sendiri memang baru mulai program promosi CPO di tahun ini. Jamil Musanif, Direktur Perdagangan Internasional Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan, tahun ini pemerintah gencar melakukan diplomasi ke berbagai negara tentang CPO berkelanjutan. (ant/lhl/k15)
SUMBER ; KALTIM POST, SABTU, 12 MARET 2016