Medan -
Perluasan kebun kelapa sawit diyakini tidak akan mampu menyerap 10 juta
tenaga kerja sebagaimana diharapkan pemerintah. Ekspansi lahan sawit
dinilai hanya akan menjadi ancaman yang serius bagi persoalan pangan dan
tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan.
Pernyataan itu
dikemukakan dalam Deklarasi Nasional Satu Abad Kejahatan Korporasi Sawit
di Indonesia yang merupakan rumusan dari Konferensi Alternatif Satu
Abad Perkebunan Kelapa Sawit. Konferensi yang dihadiri 35 LSM dari
seluruh Indonesia itu, berlangsung di Hotel Tiara, Jl. Cut Meutia,
Medan, Senin (28/3/2011).
Dalam pernyataan itu disebutkan,
argumentasi bahwa lahan sawit akan menyerap tenaga kerja dan
mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan. Asumsi
hitungan pemerintah dan koorporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar
lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh, sangat jauh dari
kenyataan.
"Fakta yang ditemukan di lapangan, dalam 100 hektar
lahan sawit, hanya menyerap sekitar 22 tenaga kerja sehingga dengan
demikian 20 juta hektar lahan sawit hanya menyerap 4,4 juta buruh,"
bunyi pernyataan yang dibacakan secara bergantian oleh perwakilan
organisasi yang antara lain berasal dari Bitra Indonesia, Kontras Sumut,
PBHI Sumut, Setara Jambi, JKMA Aceh, Jikalahari Riau, Fokker LSM Papua,
Green Peace, Sawit Watch dan Serikat Petani Indonesia.
Mereka
menyatakan, komersialisasi sawit di Indonesia yang dimulai sejak 1911,
kini sudah bergerak ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi
yang masif, terutama 10 tahun terakhir. Ekspansi itu dipicu tingginya
permintaan pasar global terhadap Crude Palm Oil (CPO), baik untuk
kepentingan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi.
Saat
ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi
pemilikan 65 persen dikuasai korporasi dan 35 persen nonkorporasi.
Kekuatan korporasi dalam kerangka ekspansi ini, memperoleh dukungan dari
10 bank besar di dunia, antara lain World Bank dan Asia Development
Bank (ADB) yang mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan
terjadinya kerusakan hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air
bersih, serta hancurnya budaya kolektif masyarakat adat.
"Investasi
korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan
industri ekstraktif, telah mematikan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
merusak hutan primer. Lebih dari 5.000 DAS yang ada di Kawasan Taman
Nasional mati akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit," kata mereka.
Pada
bagian akhir deklarasi itu, disampaikan beberapa desakan yakni,
hentikan ekspansi perkebunan sawit, cabut UU No 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, kembalikan tanah rakyat yang dirampas perkebunan koorporasi
perkebunan sawit, pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian
pangan, mendesak kepada bank internasional, bank nasional, bank asing
untuk menghentikan kredit kepada koorporasi dalam rangka ekspansi sawit.
Selain itu juga mendesak agar dihentikan segera sistem perbudakan
modren yaitu buruh murah dalam bentuk buruh kontak, butuh harian lepas
di industri perkebunan kelapa sawit.
Usai membacakan deklarasi
itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego Tarigan kepada wartawan
menyatakan, pentingnya pencabutan UU No 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, karena UU ini menjadi alat untuk memenjarakan rakyat. Sudah
202 orang rakyat terutama petani yang ditangkap polisi dengan alasan UU
tersebut.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 28 MARET 2011