Boikot Pembeli dari Eropa Belum Berakhir
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad yang ikut dalam pertemuan itu, berlangsung pekan lalu di Pekanbaru, Riau, pemboikotan atas minyak kelapa sawit mentah (CPO) oleh pembeli dari Eropa, seperti Unilever dan Nestle, masih terjadi. Boikot tersebut terkait isu lingkungan yang dilancarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional.
”Jika Eropa menganggap kelapa sawit Indonesia sebagai green monster, maka upaya kampanye negatif terhadap produk CPO Indonesia adalah bagian dari green colonialism,” kata Asmar di Medan, Minggu (17/10/2010).
Hadir dalam pertemuan di Riau itu antara lain Duta Besar Uni Eropa untuk RI Julian Wilson serta duta besar dan perwakilan dari Finlandia, Ceko, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Belgia, dan Luksemburg. Perwakilan negara Eropa ini juga berkunjung ke petani plasma sawit PTPN V di Kampar.
Menurut Asmar, pemerintah negara-negara Eropa seolah lepas tangan terhadap kampanye negatif yang dilancarkan LSM internasional atas produk CPO Indonesia.
”Mereka mengaku tak terlibat dengan kampanye negatif LSM internasional. Mereka balik menuduh, kesulitan kami mengembangkan perkebunan sawit karena Pemerintah Indonesia yang membatasi sendiri. Kan yang ingin agar emisi karbon berkurang 26-41 persen pada 2020 Presiden Indonesia, bukan negara-negara Eropa. Yang ingin moratorium juga Pemerintah Indonesia,” tutur Asmar.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara Timbas P Ginting menjelaskan, pengusaha kelapa sawit Indonesia mengungkapkan ketidakadilan bagi negara berkembang yang harus menjaga hutan, sementara kerusakan hutan di negara-negara maju telah terjadi sebelumnya.
”Kebun sawit di Indonesia dan Malaysia hanya 15 juta hektar, sementara berapa banyak hutan di Eropa yang hilang karena mereka menanam bunga matahari. Ini kan persoalan persaingan minyak nabati,” ujar Timbas.
Gapki Sumatera Selatan mengaku belum mampu merealisasikan rencana investasi industri hilir kelapa sawit. Alasannya, mereka terkendala kebijakan pemerintah dan perbankan yang belum berpihak kepada pengusaha.
Padahal, menurut anggota Gapki Sumsel, Hari Hartanto, peluang untuk menggarap industri hilir terbuka lebar karena Sumsel surplus produksi CPO.
DIKUTIP DARI KOMPAS, SENIN, 18 OKTOBER 2010