JAKARTA--MICOM: Bea keluar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) diharapkan tidak sampai 25 persen, setelah aturan pengenaan dan penetapan bea keluar ekspor direvisi.
"Batas atas 25 persen akan diturunkan," kata Direktur Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, di
Jakarta, Rabu (11/5), tentang pokok-pokok revisi Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 67/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan
bea keluar dan tarif bea keluar.
Selain menurunkan batas atas tarif bea keluar, Deddy menjelaskan,
revisi struktur bea keluar rencananya juga meliputi penaikkan batas
harga bawah pengenaan tarif bea keluar yang sampai saat ini masih US$700
per ton.
"Batas bawah kemungkinan naik menjadi US$750 per ton. Jadi bila
harga kurang dari itu tidak dikenakan bea keluar. Itu akan membantu
petani," katanya.
Revisi aturan, ia melanjutkan, juga meliputi penggunaan harga CPO di
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) sebagai dasar
penghitungan harga referensi untuk penetapan tarif bea keluar selain
harga CPO internasional di bursa komoditi Rotterdam, Belanda.
Namun, kata dia, penetapan tarif bea keluar tetap dilakukan secara
progresif dengan mengacu pada harga CPO internasional, tidak seragam (flat) seperti yang diusulkan sebagian pengusaha dan petani kelapa sawit.
"Tidak mungkin flat, apalagi usulnya hanya tiga persen dan
lima persen. Kalau 10 persen mungkin diterima, tapi itu malah akan
merugikan pengusaha kalau harga internasional turun," katanya.
Menurut Deddy, saat ini pemerintah sedang melakukan pembahasan akhir
revisi penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea
keluar.
"Sore nanti kami harap bisa dibahas dan diputuskan dalam rapat
Kementerian Koordinator Perekonomian. Kalau sudah disepakati dan
peraturannya terbit mudah-mudahan bulan depan sudah bisa berlaku,"
katanya.
Lebih lanjut, Deddy menjelaskan, pemerintah menerapkan kebijakan bea
keluar CPO, antara lain untuk mendorong pertumbuhan industri hilir
sawit dan menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.
Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor CPO dan produk turunannya,
kata dia, juga sebagian digunakan untuk membantu petani dan mendukung
pelaku usaha melalui pembangunan infrastruktur.
Namun, menurut Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(APKASI), Asmar Arsjad, selama ini petani tidak terlalu merasakan
bantuan pemerintah dari penerimaan bea keluar.
"Jadi lebih baik nol saja bea keluarnya. Kalau tetap memaksa ya flat
tiga persen dan penerimaannya dikembalikan untuk membantu petani.
Selama ini kalau pajak ekspornya besar, petani juga yang tertekan,"
katanya.
Penerapan kebijakan bea keluar, kata Sekretaris Jenderal Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, juga belum
menunjukkan dampak bermakna terhadap peningkatan industri hilir sawit.
Mereka meminta pemerintah memperbaiki struktur penetapan bea keluar
CPO dan produk turunannya supaya benar-benar bermanfaat bagi petani dan
pelaku industri pengolahan minyak kelapa sawit.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, RABU, 11 MEI 2011