AS bantah penolakan minyak sawit Indonesia karena persaingan bisnis
19 Mei 2012
Admin Website
Artikel
5202
MEDAN. Pemerintah Amerika Serikat menegaskan bahwa penolakan minyak
sawit Indonesia tidak berkaitan dengan persaingan bisnis atau melindungi
minyak nabati yang dihasilkan negara itu tetapi semata-mata untuk
kepentingan lingkungan.
"Saya menegaskan, AS hanya menolak minyak sawit atau minyak apa saja dan dari negara mana saja yang diketahui tidak produk hijau atau yang tidak maksimal bisa mengurangi efek rumah kaca. Jadi bukan karena kepentingan dagang atau melindungi produk nabati AS," kata Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS Bidang Asia Tenggara dan ASEAN Joseph Y.Yun, di Medan, Jumat.
Dia mengatakan itu dalam dialog bersama wartawan di kantor Konsulat AS di Medan usai pejabat AS itu melakukan pertemuan dengan Pelaksana tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Menurut dia, upaya pengurangan efek rumah kaca sudah harus didukung semua pihak maupun negara dan AS juga melakukan karena memang diperlukan untuk menekan kerusakan alam yang merugikan seperti menimbulkan bencana alam.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang termasuk didukung hasil industri komoditas dinilai AS sudah dan semakin cukup bagus, tetapi Indonesia harus tetap memperhatikan dan menjaga lingkungan, katanya.
Berdasarkan kajian AS biofuel dari minyak sawit Indonesia belum mampu mengurangi minimum 20 persen gas rumah kaca.
Notifikasi secara resmi AS atas palm-oil Indonesia sebagai "unsustainable product", diterima Kementerian Perdagangan RI pada 28 Januari 2012.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun menyebutkan, produksi dan ekspor CPO Indonesia yang terus meningkat harrus diakui membuat negara penghasil minyak nabati lainnya merasa semakin tersaingi.
Tidak heran, katanya, kalau kemudian muncul berbagai isu dan protes yang diduga bertujuan menekan minyak sawit seperti protes lembaga swadaya masyarakat yang berafiliasi dengan LSM asing, kemudian disusul tindakan perusahaan pembeli dengan aksi pemboikotan dan termasuk penolakan dari AS itu.
"Tetapi apa pun alasannya, Indonesia memang harus menjelaskan soal sawit nasional yang sudah semakin ramah lingkungan itu ke dunia termasuk AS," katanya.
Derom menyebutkan, AS sebenarnya bukan pasar utama CPO nasional sehingga ancaman AS itu harusnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
Pasar CPO utama Indonesia adalah China dan India dimana permintaannya juga terus naik termasuk dari Eropa meski negara itu masih dilanda krisis.
Permintaan India misalnya, tahun ini diprediksi naik menjadi 7,1 juta ton dari 6,75 juta ton di 2011 sedangkan China bertumbuh 12 persen menjadi 6,65 juta ton dmana Indonesia diandalkan menjadi pemasok utama kebutuhan kedua negara itu.
DIKUTIP DARI BISNIS NDONESIA, SABTU, 19 MEI 2012
"Saya menegaskan, AS hanya menolak minyak sawit atau minyak apa saja dan dari negara mana saja yang diketahui tidak produk hijau atau yang tidak maksimal bisa mengurangi efek rumah kaca. Jadi bukan karena kepentingan dagang atau melindungi produk nabati AS," kata Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS Bidang Asia Tenggara dan ASEAN Joseph Y.Yun, di Medan, Jumat.
Dia mengatakan itu dalam dialog bersama wartawan di kantor Konsulat AS di Medan usai pejabat AS itu melakukan pertemuan dengan Pelaksana tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Menurut dia, upaya pengurangan efek rumah kaca sudah harus didukung semua pihak maupun negara dan AS juga melakukan karena memang diperlukan untuk menekan kerusakan alam yang merugikan seperti menimbulkan bencana alam.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang termasuk didukung hasil industri komoditas dinilai AS sudah dan semakin cukup bagus, tetapi Indonesia harus tetap memperhatikan dan menjaga lingkungan, katanya.
Berdasarkan kajian AS biofuel dari minyak sawit Indonesia belum mampu mengurangi minimum 20 persen gas rumah kaca.
Notifikasi secara resmi AS atas palm-oil Indonesia sebagai "unsustainable product", diterima Kementerian Perdagangan RI pada 28 Januari 2012.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun menyebutkan, produksi dan ekspor CPO Indonesia yang terus meningkat harrus diakui membuat negara penghasil minyak nabati lainnya merasa semakin tersaingi.
Tidak heran, katanya, kalau kemudian muncul berbagai isu dan protes yang diduga bertujuan menekan minyak sawit seperti protes lembaga swadaya masyarakat yang berafiliasi dengan LSM asing, kemudian disusul tindakan perusahaan pembeli dengan aksi pemboikotan dan termasuk penolakan dari AS itu.
"Tetapi apa pun alasannya, Indonesia memang harus menjelaskan soal sawit nasional yang sudah semakin ramah lingkungan itu ke dunia termasuk AS," katanya.
Derom menyebutkan, AS sebenarnya bukan pasar utama CPO nasional sehingga ancaman AS itu harusnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
Pasar CPO utama Indonesia adalah China dan India dimana permintaannya juga terus naik termasuk dari Eropa meski negara itu masih dilanda krisis.
Permintaan India misalnya, tahun ini diprediksi naik menjadi 7,1 juta ton dari 6,75 juta ton di 2011 sedangkan China bertumbuh 12 persen menjadi 6,65 juta ton dmana Indonesia diandalkan menjadi pemasok utama kebutuhan kedua negara itu.
DIKUTIP DARI BISNIS NDONESIA, SABTU, 19 MEI 2012