MEDAN. Pemerintah Amerika Serikat menegaskan bahwa penolakan minyak
sawit Indonesia tidak berkaitan dengan persaingan bisnis atau melindungi
minyak nabati yang dihasilkan negara itu tetapi semata-mata untuk
kepentingan lingkungan.
"Saya menegaskan, AS hanya menolak minyak sawit atau minyak apa saja
dan dari negara mana saja yang diketahui tidak produk hijau atau yang
tidak maksimal bisa mengurangi efek rumah kaca. Jadi bukan karena
kepentingan dagang atau melindungi produk nabati AS," kata Deputi
Asisten Menteri Luar Negeri AS Bidang Asia Tenggara dan ASEAN Joseph
Y.Yun, di Medan, Jumat.
Dia mengatakan itu dalam dialog bersama wartawan di kantor Konsulat AS
di Medan usai pejabat AS itu melakukan pertemuan dengan Pelaksana tugas
Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Menurut dia, upaya pengurangan efek rumah kaca sudah harus didukung
semua pihak maupun negara dan AS juga melakukan karena memang diperlukan
untuk menekan kerusakan alam yang merugikan seperti menimbulkan bencana
alam.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang termasuk didukung hasil industri
komoditas dinilai AS sudah dan semakin cukup bagus, tetapi Indonesia
harus tetap memperhatikan dan menjaga lingkungan, katanya.
Berdasarkan kajian AS biofuel dari minyak sawit Indonesia belum mampu mengurangi minimum 20 persen gas rumah kaca.
Notifikasi secara resmi AS atas palm-oil Indonesia sebagai "unsustainable product", diterima Kementerian Perdagangan RI pada 28 Januari 2012.
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun menyebutkan,
produksi dan ekspor CPO Indonesia yang terus meningkat harrus diakui
membuat negara penghasil minyak nabati lainnya merasa semakin tersaingi.
Tidak heran, katanya, kalau kemudian muncul berbagai isu dan protes
yang diduga bertujuan menekan minyak sawit seperti protes lembaga
swadaya masyarakat yang berafiliasi dengan LSM asing, kemudian disusul
tindakan perusahaan pembeli dengan aksi pemboikotan dan termasuk
penolakan dari AS itu.
"Tetapi apa pun alasannya, Indonesia memang harus menjelaskan soal
sawit nasional yang sudah semakin ramah lingkungan itu ke dunia termasuk
AS," katanya.
Derom menyebutkan, AS sebenarnya bukan pasar utama CPO nasional sehingga ancaman AS itu harusnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
Pasar CPO utama Indonesia adalah China dan India dimana permintaannya
juga terus naik termasuk dari Eropa meski negara itu masih dilanda
krisis.
Permintaan India misalnya, tahun ini diprediksi naik menjadi 7,1 juta
ton dari 6,75 juta ton di 2011 sedangkan China bertumbuh 12 persen
menjadi 6,65 juta ton dmana Indonesia diandalkan menjadi pemasok utama
kebutuhan kedua negara itu.
DIKUTIP DARI BISNIS NDONESIA, SABTU, 19 MEI 2012