PENAJAM. Pernyataan Direktur
Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil
Hasan, tentang keluhan pengusaha/investor kelapa sawit berkaitan
Permentan 98/2013 yang membatasi kepemilikan lahan seluas 100.000
hektare, sehingga dianggap membatasi pertumbuhan industri sawit
nasional, memantik tanggapan.
Pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kaltim
Akhmad Indradi, kemarin, mengatakan, pernyataan Fadhil Hasan tersebut
mencerminkan keserakahan pemilik modal untuk menguasai lahan
sebanyak–banyaknya tanpa memikirkan kepentingan masyarakat banyak untuk
tumbuh.
Dikatakan, perusahaan besar atau pemilik modal terkesan hanya
mementingkan kesejahteraan mereka sendiri, tanpa memikirkan distribusi
ruang bagi kebun rakyat untuk tumbuh. Tidak mengherankan jika konflik
lahan antara masyarakat dan perusahaan terus terjadi dan trennya akan
semakin sering terjadi. Apalagi dipicu minimnya langkah perusahaan untuk
membangun plasma ataupun pola kemitraan lainnya dengan masyarakat
sekitar.
Melihat hal ini, kata dia, pemerintah seharusnya membatasi pengeluaran
izin maupun membatasi luasan lahan yang dikuasai perusahaan besar.
Kalau perlu bahkan tidak boleh lebih dari 20.000 hektare untuk satu
perusahaan.
"Semestinya ada rencana tata ruang khusus yang berkaitan dengan
batas-batas areal mana yang bisa dikeluarkan izin bagi perusahaan
besar dan mana yang dicadangkan untuk pertumbuhan usaha perkebunan
rakyat. Dengan tata ruang tersebut kebun rakyat dan kebun perusahaan
besar bisa tumbuh bersama dan saling menguatkan. Kepala daerah tidak
boleh menerbitkan izin semaunya sesuai pesanan pemilik modal. Ada
ungkapan, jika seluruh bumi Kaltim ini disuguhkan bagi para pemilik
modal niscaya semua akan dilalap habis dan tak ada sisa untuk rakyat,"
ujarnya.
Pemerintah semestinya memahami bahwa lahan adalah sumber daya yang
terbatas jumlahnya dan menjadi alat produksi yang sangat penting bagi
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.
"Yang dimaksud masyarakat dalam hal ini adalah rakyat banyak, bukan
hanya segelintir pemilik modal/perusahaan besar. Dalam hal ini
pemerintah harus punya komitmen agar rakyat diberi prioritas untuk
memiliki lahan demi kesejahteraan hidupnya, bukan hanya sebagai buruh di
lahan milik perusahaan," tuturnya.
Menurut Akhmad Indradi, permasalahan ekonomi sekarang ini bukan
sekadar meningkatkan produksi, meningkatkan luasan, atau meningkatkan
pendapatan pajak saja. Tetapi, bagaimana mendistribusikan kemakmuran
kepada masyarakat.
"Justru disinilah peran pemerintah untuk mengatur, memberikan
keadilan, agar pertumbuhan subsektor ini bisa memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada ungkapan, luasan bumi ini
cukup untuk menghidupi bermiliar manusia, tetapi tidak cukup luas untuk
memenuhi hasrat keserakahan satu orang," sindirnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan, hampir
semua pengusaha sawit mengeluhkan Peraturan Menteri Pertanian RI No
98/Permentan /OT.140/9/2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan.
"Kami berharap pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan
tersebut," ujar Fadhil Hasan. Ada dua hal yang dikeluhkan pengusaha dan
investor. Pertama, izin usaha perkebunan (IUP) sawit satu perusahaan
atau satu grup perusahaan dibatasi paling luas 100 ribu hektare. Kedua,
pengurusan IUP sawit harus mendapat rekomendasi dari gubernur. Tidak
seperti biasanya cukup dengan izin dari bupati setempat.
Pelaku usaha sawit di Kaltim mengatakan, Permentan ini menghambat
proses perizinan. “Biasanya kami mengurus izin langsung ke bupati.
Sekarang harus meminta rekomendasi ke gubernur. Ini sangat menghambat.
Karena harus ada telaahan dari dinas-dinas terlebih dulu, Dinas
Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Bagian Ekonomi.
Semua pengusaha dan investor komplain. Paling cepat prosesnya enam
bulan,” kata pengusaha sawit dari Kaltim yang enggan namanya dikorankan
ini.
Selain itu, lanjut dia, Permentan 98/2013 juga membatasi lahan
perkebunan sawit luasnya 100 ribu hektare per perusahaan atau per grup
perusahaan.
"Seharusnya tidak boleh dibatasi. Orang mau berusaha kok
dibatasi, seharusnya berapa saja silakan," kata pengusaha tersebut.
Menurutnya pembatasan luas kebun per IUP sawit ini, membuat industri
kelapa sawit susah berkembang. (ari/wan/k8)
DIKUTIP DARI KALTIM POST, KAMIS, 6 FEBRUARI 2014