
JAKARTA. Harga CPO di pasar global belum menunjukkan tanda-tanda rebound.
Setelah tahun lalu bergerak di kisaran USD 600 per ton, harga olahan
pertama kelapa sawit tahun ini diprediksi bergerak di level USD 700 per
ton. Itu pun dikarenakan terhambatnya pasokan karena faktor cuaca,
bukan pulihnya permintaan secara signifikan.
Namun, emiten dari kalangan produsen
bukan tanpa alternatif. CPO masih memiliki beragam pilihan turunan. Dari
olein, hingga menjadi sejumlah produk, seperti minyak goreng dan
biodiesel.
Yosua Zishoki, analis MNC Securities
mengatakan, produk turunan pertama yang masih bisa dimaksimalkan adalah
minyak goreng. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. "Emiten
perkebunan bisa mengontrol harga," ujarnya, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, harga produk lebih mudah dikendalikan lantaran emiten CPO dapat memainkan nilai tambah atau value added
atas produk ini. Misalnya dengan menyesuaikan kualitas. Dengan kualitas
lebih tinggi, emiten bisa mematok harga lebih tinggi pada industri
riilnya.
Di sisi lain, nilai tambah tersebut tak
bergantung pada tren harga jual CPO global. Naik atau turun, harga
minyak goreng tetap ditentukan permintaan pasar. Apalagi, produk olahan
ini termasuk bahan kebutuhan pokok.
Sehingga, dengan situasi krisis seperti
apapun, permintaan diyakini tak bakal habis. Dalam hal ini, Yosua
mencontohkan saham PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Sinar mas
Agro Tbk (SMAR), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Astra Agro
Lestari Tbk (AALI).
Selain besar, keempat emiten CPO ini
juga sudah memiliki produk kenamaan masing-masing. Namun, dia
menggarisbawahi SIMP. "Soalnya, selain ke pasar langsung, permintaan
minyak dari SIMP juga berasal dari grup," lanjutnya.
Dari sisi fundamental, SMAR dinilai
relatif menarik. Sayangnya, saham SMAR kurang likuid. Selain minyak
goreng, produk turunan lain seperti biodiesel juga bisa memberikan
sentimen positif bagi para pemain perkebunan.
Namun, efeknya berbeda dari produk
minyak goreng. Korelasinya, berkat kebijakan pemerintah, permintaan CPO
untuk bahan campuran diesel menjadi lebih tinggi. Artinya, akan ada
permintaan CPO yang lebih tinggi dari dalam negeri. Seperti diketahui,
Indonesia memiliki kontribusi cukup dominan terhadap kebutuhan CPO
global.
Dengan kata lain, ekspor CPO dari
Indonesia akan berkurang. "Ini menyebabkan suplai CPO global menurun,
sehingga pada akhirnya harga CPO dunia terkerek naik," kata Yosua.
Terkait turunan biodiesel, Analis Bahana
Securities Agustinus Reza Kirana mengungkapkan hal senada. Kebijakan
biodiesel, kata dia, akan menyebabkan permintaan CPO dalam negeri
meningkat.
Sebab, produk tersebut diperkirakan
dapat menghasilkan potensi permintaan CPO, antara 4 juta hingga 6 juta
ton pada tahun ini. "Angka ini setara dengan 12 sampai 18 persen dari
total produksi CPO Indonesia," tambah Agustinus.
Adapun faktor lain yang masih dapat
memberi efek signifikan terhadap pergerakan saham perkebunan adalah
faktor alam. Seperti fenomena El Nino yang bisa menekan produksi,
sehingga menjadi pengerek harga CPO di pasar dunia. (ant/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SELASA, 15 MARET 2016