Tak Ada Monopoli Pengadaan Bibit
25 Juli 2009
Admin Website
Artikel
4099
Hal itu diungkapkan Direktur Perbenihan dan Sarana Produksi, Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian, Darmansyah Basyaruddin. Pernyataan itu menampik tuduhan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) bahwa pengadaan benih kakao yang dilakukan Puslitkoka merupakan bentuk monopoli.
#img1# "Benih kakao yang dihasilkan Puslitkoka, merupakan hasil teknologi SE yang berasal dari Nestle. Bahkan, lembaga penelitian yang berlokasi di Jember itu sudah mendapatkan property right mengembangkan benih kakao di Indonesia," tuturnya.
Menurut Darmansyah, berbeda dengan cara konvensional, perbanyakan benih dengan teknologi kultur jaringan SE mempunyai banyak keuntungan. Selain lebih mudah dilakukan, benih yang dihasilkan mirip induknya dan dapat memproduksi dalam jumlah besar dengan cepat. Tahun ini saja diperlukan benih 20 juta benih.
Karena itu, jika ada pihak lain yang bisa menawarkan teknologi perbanyakan benih dengan cepat dan sebagus SE, pemerintah bisa mengadopsi teknologi tersebut. Tapi saat ini baru Puslitkoka, Jember saja yang memegang property right teknologi SE dari Nestle.
"Jadi, tidak ada monopoli, karena tidak ada teknologi lain yang mampu memproduksi benih kakao dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Bahkan, Thailand juga menggunakan teknologi ini untuk perbanyakan benih kopi," tegasnya.
Kepala Puslitkoka, Teguh Wahyudi juga mengakui, teknologi yang merupakan adopsi dari Nestle Perancis merupakan salah satu metode perbanyak benih dengan cepat. Tanaman yang dihasilkan dengan teknik SE ini secara morfologis akan mirip dengan tanaman asal, baik dari segi percabangan maupun adanya akar tunggang. Namun, secara genetik sama seperti tanaman induknya.
Keuntungan lain dari teknik SE ini adalah bibit bisa diproduksi dengan massal dan bibit yang dihasilkan dari laboratorium bebas hama penyakit. Berbeda dengan bibit yang dihasilkan dengan cara sambung samping yang masih dimungkinkan ada bibit tanaman yang terkena penyakit.
Dengan teknik SE, distribusi bibit akan lebih mudah karena berupa plantlet (tanaman kecil). Bahan tanaman itu nantinya disalurkan kepada penangkar bibit di daerah, selanjutnya pembibitan dilakukan dilokasi penanaman. "Untuk menjaga mutu, semua plantlet yang disalurkan dan bibit siap tanaman yang dibuat penangkar akan disertifikasi," kata Teguh.
Dari penelitian dengan teknologi SE sudah ada lima klon benih unggul yang dihasilkan yakni Sulawesi 1, Sulawesi 2, ICCRI 03, ICCRI 04 dan SKA 6. Klon tersebut merupakan pengembangan klon-klon unggul di Indonesia yang tahan terhadap hama penyakit Penggerek Buah Kakao (PBK), VSD (Vascular Streak Dieback) dan busuk buah. "Melalui Surat keputusannya, Menteri Pertanian sudah melepas klon-klon unggul tersebut," ujarnya.
Puslitkoka menargetkan produksi bibit kakao dengan teknik SE pada 2009 sebanyak 20,6 juta bibit, pada 2010 sekitar 25 juta bibit dan 2011 sekitar 25 juta bibit. Jumlah tersebut disesuai dengan rencana pemerintah untuk merehabilitasi tanaman kakao. "Meski diadopsi dari Perancis, justru teknologi SE untuk tanaman kakao ini menjadi satu-satunya di dunia. Bahkan ketika ahli dari Perancis datang ke Indonesia mereka heran," tutur Teguh.
Tahan hama
Seperti diketahui, saat ini banyak tanaman kakao milik rakyat yang terkena serangan hama penyakit. Akibatnya, produktivitas tanaman turun hingga 660 kg/ha atau turun 40% dari potensinya sebanyak 1,1 ton/ha. Hitung-hitungannya penurunan produktivitas itu membuat Indonesia kehilangan produksi sebanyak 198.000 ton/tahun dengan nilai sekitar Rp3,96 triliun/tahun.
Menurut Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Rizki Muis mengembangkan bibit kakao dengan teknologi SE untuk mendapatkan klon yang tahan terhadap hama penyakit, bahkan juga sangat adaptif terhadap kondisi alam di wilayah pengembangan. "Klon tersebut diambil dari sentra produksi kakao, sehingga lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan," katanya.
Karena itu pengembangan benih unggul melalui SE merupakan bagian dari program Gernas Kakao. Program tersebut bertujuan untuk memperbaiki tanaman kakao rakyat yang rusak dan sudah tua.
Sementara itu, Teguh juga berharap, dengan adanya pengembangan klon kakao yang tahan terhadap penyakit mematikan itu tidak lagi mengkhawatirkan petani kakao. Sebab, selama ini upaya pengendalian penyakit VSD dengan fungisida dan sarungisasi ternyata tidak efektif.
Harus diakui, VSD merupakan salah penyakit yang paling ditakuti petani kakao karena menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman dewasa. Penyakit ini diakibatkan infeksi jamur Oncobasidium theobromae dan tanaman yang terkena VSD akan meranggas dan kemudian mati secara perlahan. "Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah mencari bahan tanam yang tahan VSD," kata Teguh.
Dalam pengujian, kelima klon-klon yang telah dihasilkan Puslitkoka ditanam di daerah yang endemik penyakit VSD bersama klon-klon unggul lainnya sebagai pembanding. Hasilnya, kelima klon tersebut tetap bertahan, sedangkan klon pembanding tumbuh meranggas dan akhirnya mati.
Hadirnya klon tersebut diharapkan mampu membantu upaya pemerintah meningkatkan produksi kakao nasional. Apalagi, kini pemerintah mencanangkan Gernas Kakao yang terfokus di wilayah Sulawesi, yang merupakan daerah paling parah terserang penyakit VSD. "Jenis klon ini bisa dimanfaatkan untuk merehabilitasi tanaman tidak produktif dan tanaman yang rentan terhadap VSD," katanya.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 70.000 ha kebun kakao dalam keadaan rusak, 235.000 ha dalam kondisi rusak sedang dan 145.000 ha kurang terpelihara. Bahkan, sebagian besar kebun kakao itu berlokasi di Indonesia bagian timur. Kondisi itu terjadi karena serangan hama penyakit, umur tanaman yang sudah tua dan kurangnya perawatan kebun oleh petani.
Pemerintah mengharapkan, dengan program peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi, produktivitas tanaman kakao rakyat bisa kembali normal hingga mencapai 1,5-3 ton/ha. Saat ini banyak tanaman kakao yang rusak dan terserang hama penyakit, sehingga produktivitas tanaman kakao hanya 500-600 kg/ha. "Selama ini petani tidak mempunyai dana untuk memperbaiki tanaman mereka, sehingga produktivitas tanaman cenderung turun," kata Rizki.
Karena itu, dengan program Gernas pemerintah berharap produktivitas tanaman kakao petani kembali normal. Pada akhirnya berdampak pada peningkatan produksi kakao nasional. Diharapkan, dalam dua hingga tiga tahun ke depan, produksi kakao bisa mencapai 1,3 juta hingga 1,5 juta ton. Saat ini produksi kakao nasional hanya 600.000-700.000 ton.
Dalam program Gernas, tahun ini pemerintah menetapkan 40 kabupaten di sembilan provinsi. Provinsi itu yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bali, NTT, Maluku, Papua Barat dan Papua. Untuk program ini pemerintah telah menganggarkan dana melalui APBN 2009 sebanyak Rp 1 triliun.
Rencananya, pemerintah akan menaikkan anggaran menjadi Rp1,5 triliun pada tahun depan dengan target areal diperluas di 57 kabupaten di 15 provinsi sentra produksi kakao. Selain provinsi yang sudah dilakukan program Gernas tahun 2008, provinsi lainnya adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan NTB.
DIKUTIP DARI AGROINDONESIA, RABU, 22 JULI 2009