Rehabilitasi lahan kakao masih harus terus digenjot
28 Mei 2012
Admin Website
Artikel
4881
JAKARTA. Desakan agar Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu
Kakao atau Gernas Kakao dilanjutkan terus menguat, mengingat masih
banyak lahan kakao yang membutuhkan rehabilitasi.
Presiden Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Didiek Hadjar Goenadi mengemukakan Gernas Kakao yang sudah berjalan sejak 2009 hanya berhasil memperbaiki 30% dari total perkebunan kakao rakyat seluas 1,6 juta hektare di Indonesia.
Menurutnya, 70% lahan yang tersisa perlu ditangani karena kondisi tanaman kakao yang sudah tua, sehingga produktivitasnya berkurang.
"Yang 70% ini harus digarap dulu. Tanamannya sudah tua renta. Sampai 2017, kalau bisa (Gernas) terus, jangan sampai diperlambat. Kalau perlu ditingkatkan," ujarnya, baru-baru ini.
Didiek mengkhawatirkan anggaran Gernas Kakao akan terus dipangkas berkaitan dengan program pemerintah mewujudkan swasembada gula nasional pada 2014.
Pada tahun ini saja, anggaran Genas Kakao hanya Rp500 miliar atau menyusut drastis dari anggaran pada 2011 yang mencapai Rp1,5 triliun untuk 25 provinsi pelaksana program Gernas.
Menurutnya, pemangkasan anggaran Gernas justru akan semakin menurunkan angka produksi kakao dalam negeri yang tahun lalu hanya 459.000 ton.
Akibatnya, Indonesia bisa menjadi net importir biji kakao justru ketika kapasitas pengolahan (grinding capacity) industri dalam negeri sedang ditingkatkan.
Grinding capacity yang pada 2009 hanya 130.000 ton meningkat menjadi 280.000 ton pada 2011. Pada 2014, diperkirakan kapasitas produksi meningkat lagi menjadi 400.000 ton, seiring mengalirnya investasi pabrikan cokelat dari sejumlah negara ke Indonesia.
"Kalau produksi tidak dirawat, ditingkatkan, kita akan jadi importir karena kebutuhan dalam negeri terus naik," katanya.
Didiek mengusulkan agar anggaran Gernas dipertahankan seperti 2011, tetapi perlu difokuskan pada wilayah Sumatera untuk menghasilkan biji kakao fermentasi, misalnya kebun kakao di Padangpariaman, Sumatera Barat dan Kepahiang, Bengkulu.
"Kita masih impor 20.000-30.000 ton (kakao fermentasi) dari Afrika. Tidak ada salahnya kalau itu dipenuhi dari Sumatera bagian barat", ungkapnya.
PT RPN merupakan BUMN yang melaksanakan riset dan pengembangan komoditas kakao, kelapa sawit, karet, kina, teh dan tebu. Dari total lahan kabun seluas 8.000 hektare, RPN mengembangkan tanaman kakao seluas 500 hektare, baik untuk benih maupun untuk komersial.
Sebelumnya, Dewan Kakao Indonesia meminta agar Gernas Kakao tak dihentikan, mengingat pemerintah telah mengutip bea keluar biji kakao sehingga harus mengalokasikan anggaran untuk pengembangan komoditas itu.
Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) juga menyampaikan usulan serupa. Sekretaris Eksekutif Askindo Firman Bakri mengatakan Gernas Kakao harus dilanjutkan, tetapi pendekatannya harus diubah dengan lebih berorientasi kepada petani.
"Petani harus diberdayakan dengan pelatihan, bukan hanya tanam secara cuma-cuma. Kalau selama ini kan orang proyek yang melakukan pembibitan dan pemupukan. Kami inginnya petani," ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya meminta agar pemerintah meluncurkan Gernas jilid dua untuk meng-cover 70% lahan kakao yang belum tertangani.
DIKUTIP DARI BISNIS INDONESIA, MINGGU, 27 MEI 2012
Presiden Direktur PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN) Didiek Hadjar Goenadi mengemukakan Gernas Kakao yang sudah berjalan sejak 2009 hanya berhasil memperbaiki 30% dari total perkebunan kakao rakyat seluas 1,6 juta hektare di Indonesia.
Menurutnya, 70% lahan yang tersisa perlu ditangani karena kondisi tanaman kakao yang sudah tua, sehingga produktivitasnya berkurang.
"Yang 70% ini harus digarap dulu. Tanamannya sudah tua renta. Sampai 2017, kalau bisa (Gernas) terus, jangan sampai diperlambat. Kalau perlu ditingkatkan," ujarnya, baru-baru ini.
Didiek mengkhawatirkan anggaran Gernas Kakao akan terus dipangkas berkaitan dengan program pemerintah mewujudkan swasembada gula nasional pada 2014.
Pada tahun ini saja, anggaran Genas Kakao hanya Rp500 miliar atau menyusut drastis dari anggaran pada 2011 yang mencapai Rp1,5 triliun untuk 25 provinsi pelaksana program Gernas.
Menurutnya, pemangkasan anggaran Gernas justru akan semakin menurunkan angka produksi kakao dalam negeri yang tahun lalu hanya 459.000 ton.
Akibatnya, Indonesia bisa menjadi net importir biji kakao justru ketika kapasitas pengolahan (grinding capacity) industri dalam negeri sedang ditingkatkan.
Grinding capacity yang pada 2009 hanya 130.000 ton meningkat menjadi 280.000 ton pada 2011. Pada 2014, diperkirakan kapasitas produksi meningkat lagi menjadi 400.000 ton, seiring mengalirnya investasi pabrikan cokelat dari sejumlah negara ke Indonesia.
"Kalau produksi tidak dirawat, ditingkatkan, kita akan jadi importir karena kebutuhan dalam negeri terus naik," katanya.
Didiek mengusulkan agar anggaran Gernas dipertahankan seperti 2011, tetapi perlu difokuskan pada wilayah Sumatera untuk menghasilkan biji kakao fermentasi, misalnya kebun kakao di Padangpariaman, Sumatera Barat dan Kepahiang, Bengkulu.
"Kita masih impor 20.000-30.000 ton (kakao fermentasi) dari Afrika. Tidak ada salahnya kalau itu dipenuhi dari Sumatera bagian barat", ungkapnya.
PT RPN merupakan BUMN yang melaksanakan riset dan pengembangan komoditas kakao, kelapa sawit, karet, kina, teh dan tebu. Dari total lahan kabun seluas 8.000 hektare, RPN mengembangkan tanaman kakao seluas 500 hektare, baik untuk benih maupun untuk komersial.
Sebelumnya, Dewan Kakao Indonesia meminta agar Gernas Kakao tak dihentikan, mengingat pemerintah telah mengutip bea keluar biji kakao sehingga harus mengalokasikan anggaran untuk pengembangan komoditas itu.
Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) juga menyampaikan usulan serupa. Sekretaris Eksekutif Askindo Firman Bakri mengatakan Gernas Kakao harus dilanjutkan, tetapi pendekatannya harus diubah dengan lebih berorientasi kepada petani.
"Petani harus diberdayakan dengan pelatihan, bukan hanya tanam secara cuma-cuma. Kalau selama ini kan orang proyek yang melakukan pembibitan dan pemupukan. Kami inginnya petani," ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya meminta agar pemerintah meluncurkan Gernas jilid dua untuk meng-cover 70% lahan kakao yang belum tertangani.
DIKUTIP DARI BISNIS INDONESIA, MINGGU, 27 MEI 2012