Petani Sawit Tolak Bea Keluar CPO Progresif
Jakarta -
Para petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan bea
keluar (BK) crude palm oil (CPO) yang bersifat progresif.
Dorongan ini ditengah pemerintah sedang melakukan revisi terkait
kebijakan BK CPO dan saat harga CPO dunia sedang mengalami kenaikan
harga tinggi.
Para petani sawit ini meminta pemerintah
memperhatikan pendapat pelaku industri kelapa sawit sebelum memutuskan
kebijakan insentif pajak dan pengenaan bea keluar CPO pada Januari 2011
mendatang.
"Apkasindo tidak setuju dengan bea keluar CPO yang
progresif. Kami minta kebijakan ini ditinjau kembali, kami ingin bea
keluar yang flat," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani
Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad dalam siaran pers yang
diterima detikFinance, Minggu (26/12/2010).
Pernyataan ini menanggapi penjelasan Menteri Perindustrian MS Hidayat
yang sebelumnya menyatakan pemerintah akan tetap mengenakan bea keluar
bagi produk CPO dan turunannya. Bea keluar itu sebagai bagian dari paket
kebijakan insentif fiskal untuk mendorong perkembangan industri hilir
agro.
Menurut Asmar, para petani akan terus merugi dengan adanya
bea keluar CPO yang progresif. Sebab kenaikan bea keluar seluruhnya
akan dipotongkan dari harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh
para petani. Padahal, dengan struktur bea keluar yang progresif, maka
kenaikan tarif bea keluar akan terus terjadi seiring dengan naiknya
harga CPO.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
223/PMK.011/2008 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea
keluar dan tarif bea keluar, maka diputuskan bea keluar baru.
Pada
aplikasinya, untuk harga referensi US$1.200 per ton, maka bea keluarnya
adalah 20 persen. Jika harga referensi ini naik US$51 menjadi US$1.251,
bea keluarnya ikut naik menjadi 25 persen.
Sebagai catatan,
harga minyak sawit mentah Jumat (10/12/2010), mencetak rekor tertinggi
dalam 29 bulan terakhir. Kontrak CPO untuk pengiriman Februari 2011 di
Malaysia Derivative Exchange tercatat telah mencapai US$1.153
per ton.
"Kami tidak keberatan jika tujuannya untuk memajukan
industri hilir. Tapi jika harga terus naik, petani akan terus tertekan
bea keluar progresif," imbuh Asmar.
Dalam siaran pers tersebut,
Komisaris PT Perkebunan Nusantara IV, Maruli Gultom juga ikut
mempertanyakan kebijakan pemerintah. Maruli menjelaskan industri hilir
merupakan industri yang padat modal (capital intensive),
sedangkan perkebunan kelapa sawit padat karya (labour intensive).
"Industri hilir mempunyai daya serap tenaga kerja sangat kecil.
Operasi pabrik dapat digantikan dengan mesin," kata Maruli.
"Bandingkan
dengan tenaga kerja perkebunan kelapa sawit. Setiap lima hektar,
perkebunan memperkerjakan satu orang petani. Kebijakan pemerintah
memihak yang mana?" tegas Maruli.
Selain itu, Maruli juga
mengingatkan pemerintah 30% perkebunan sawit dimiliki oleh para petani
kecil. Karena itu, kebijakan pengenaan bea keluar CPO yang progresif
otomatis akan merugikan ribuan petani sawit yang mengandalkan hidupnya
dari penjualan TBS.
Asmar mengatakan selama ini, pemerintah
dinilai gagal menerapkan tujuan ini. Pada realisasinya, bea keluar ini
hanya menjadi sumber penerimaan negara dan tak jelas pengalokasiannya.
Pemerintah
diminta agar melihat Malaysia terkait penerapan bea keluar progresif.
Malaysia tadinya mencontoh Indonesia dalam implementasi bea keluar guna
menggenjot industri hilirnya. Dengan penerapan yang benar, pertumbuhan
industri kelapa sawit secara keseluruhan di Negeri Jiran dinilai lebih
pesat dibandingkan di Tanah Air.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, MINGGU, 26 DESEMBER 2010