.jpg)
SAMARINDA. Perijinan berbelit dan birokrasi yang rumit menyebabkan banyak
perusahaan perkebunan Kelapa sawit yang telah mengantongi ijin “balik
kanan” alias lebih memilih stop beroperasi atau menjualnya kepada
investor lain.
Bahkan banyak ijin perkebunan kelapa sawit yang masih
berlaku "dijajakan" oleh sopir taksi maupun melalui media sosial.Ketua
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kaltim, Asmal Ridwan, Selasa
pekan lalu (19/8) di Samarinda mengatakan maraknya penjualan perijinan
lahan ini disebabkan banyaknya rekomendasi dan perijinan yang harus
diselesaikan sebelum beroperasi.
"Kondisi kini sedemikian parah. Saya pernah lapor Pak Gubernur Awang
Faroek. Merah muka beliau. Saya tidak mengada-ada. Perijinan banyak
menghambat perkebunan kelapa sawit yang sebenarnya memiliki peluang dan
potensi besar dalam pengentasan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi
daerah," tegasnya.
Dijelaskan Azmal, untuk dapat beroperasi sebuah perusahaan kelapa
sawit harus memiliki sejumlah ijin, misalnya Ijin Pembebasan Lahan, Ijin
Pembukaan Lahan, Ijin Lokasi, dan lain-lain. Ini melibatkan sejumlah
instansi baik pusat maupun daerah, bahkan kabupaten selaku pemilik
lahan.
Dijelaskan Azmal, saat ini di Kaltim terdapat 3,6 juta hektar yang
telah memperoleh ijin dan sebanyak 2,4 juta hektar yang sudah memiliki
ijin Hak Guna Usaha (HGU). Dari jumlah tersebut yang telah realisasi
tanam seluas 1 juta hektar.
"Dari 2,4 juta hektar tersebut, baru satu juta yang telah realisasi.
Trus sisanya 1,4 juta hektar yang 50 persennya diantaranya atau 700 ribu
hektar dalam progres penanaman. Masih ada sekitar 700 ribu hektar yang
tidak diketahui keberadaannya. Inilah yang ditawarkan oleh sopir-sopir
taksi kepada penumpangnya," tegasnya.
Dirinya berharap, biaya tanam kelapa sawit per hektar yang mencapai
Rp55 juta dapat dikurangi hingga hanya Rp45 juta per hektar jika
pemerintah daerah dan kabupaten berani memangkas sejumlah rekomendasi
dan perijinan yang dianggap tidak perlu.
Dilapangan, ujarnya, perusahaan kelapa sawit masih harus berhadapan
dengan klaim masyarakat. Anehnya yang diklaim bukan lahan yang
disepakati awal pengukuran dan perijinan.
"Bukannya kami manja, tetapi semua ujung-ujungnya duit," ujarnya singkat.
Dicontohkan Azmal, jika perusahaan mendapatkan ijin lokasi, belum
boleh bekerja karena hanya ijin lokasinya bukan ijin kerjanya. Sebelum
memperoleh ijin pembukaan lahan, ijin lokasi diurus untuk berlaku semala
12 bulan. Keluarnya ijin selama tiga bulan sehingga umur ijin hanya
sisa 9 bulan.
Ijin pembukaan lahan diperlukan waktu 6 bulan baru keluar. Jikalau
ada kayu tegakan dan dianggap produktif dengan rata-rata 50 kubik per
hektar, maka tidak boleh dibuka tetapi harus mengurus Ijin Pemanfaatan
Kayu (IPK) dulu.
"Ngurus IPK nya setahun baru terbit. IPK terbit ijin lokasi habis
(masa berlakunya), ngurus lagi, uang lagi. Kita (perusahaan kelapa
sawit) bukan hanya digebukin, tetapi sudah babak belur kita," keluhnya.(vb/yul)
SUMBER : VIVA BORNEO, RABU, 27 AGUSTUS 2014