JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) Premium
dinilai akan menyengsarakan petani kelapa sawit dan buruh perkebunan
hingga masyarakat adat. Naiknya BBM juga akan menambah angka kemiskinan.
"Jika
ingin melihat implikasi dari kenaikan harga BBM tersebut pada petani
yang menghadapi Ketimpangan agraria seperti masyarakat dalam perkebunan
tentunya dapat menciptakan kemiskinan baru," kata Koordinator Forum
Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto dalam siaran pers,
Senin (26/3/2012).
Selama beberapa periode kekuasaan pasca
reformasi, kenaikan harga BBM tidak pernah diikuti dengan kenaikan harga
TBS (Tandan Buah Sawit) yang di hasilkan petani sawit. Dampak lanjut
dari Kenaikan BBM ini bagi petani kelapa sawit akan memperbesar biaya
indek K (indek K adalah Potongan pabrik untuk TBS milik petani dalam
rangka biaya pengolahan dan pengangkutan CPO-Crude Palm Oil) yang diatur
dalam penentuan harga Komoditas kelapa sawit dan itu menguntungkan
perusahaan perkebunan.
"Dalam proses ini, pengusaha perkebunan
akan melibatkan petani sawit menanggung biaya tinggi dari kenaikan BBM
tersebut melalui Indek K," ujarnya.
Ia mengatakan, besarnya biaya
ongkos pengangkutan Tandan Sawit dari kebun ke pabrik menjadi salah
satu dampak terkait kenaikan BBM. Diperkirakan, ongkos angkut tersebut
anak naik 150% dengan biaya angkut sebesar Rp 180/kg.
"Hal tersebut di tambah lagi dengan biaya lain seperti misalnya upah Panen dan harga pengangkutan Pupuk," katanya.
Kondisi
jalan yang rusak dalam rangka pengangkutan Buah sawit akan berpengaruh
pada naiknya transportasi pengangkutan. Petani swadaya akan semakin
terpuruk karena harga sawit akan ditentukan oleh tengkulak.
"Tengkulak
akan menentukan harga lebih rendah lagi dari pabrik karena proses
pengangkutan dan kondisi jalan yang kurang memadai," jelasnya.
Begitu
pun halnya buruh perkebunan yang status nya Buruh Harian Lepas atau
buruh Kontrak yang jumlahnya 60%, kata dia. Upah Buruh kontrak belum
sesuai dengan standar kehidupan layak. Standar Upah nya selalu berada di
bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Menurutnya, kehidupan buruh
kontrak ini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun
perusahaan perkebunan yang mempekerjakannya. Biaya transportasi dan
biaya kehidupan sehari-hari dan peralatan pekerjaan di biaya sendiri
oleh buruh.
"Sehingga, kenaikan harga BBM selain menurunkan daya
beli nya juga berpengaruh kepada nasib masa depannya dan hilangnya
pekerjaan," ucapnya.
Situasi konflik dalam perkebunan kelapa
sawit yang terjadi selama ini harus menjadi sebuah pertimbangan
tersendiri bagi pemerintah untuk masa depan kehidupan petani sawit dan
buruh perkebunan. Sesungguhnya, perkebunan kelapa sawit sebagaimana yang
dicitrakan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat belum lah teruji
dan masih pepesan kosong.
"Maka bukan tidak mungkin, kenaikan
harga BBM akan mempengaruhi secara langsung Rumah Tangga kehidupan
petani dan buruh perkebunan dan tentunya kondisi itu akan memancing
konflik dalam perkebunan yang lebih besar," katanya.
Serikat
Petani Kelapa Sawit menyatakan sangat menolak dengan rencana pemerintah
tersebut untuk menaikkan harga BBM karena hanya akan menyengsarakan
petani dan buruh serta masyarakat adat.
DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 26 MARET 2012