(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Naiknya Harga BBM Sengsarakan Petani Sawit

26 Maret 2012 Admin Website Artikel 6192
JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) Premium dinilai akan menyengsarakan petani kelapa sawit dan buruh perkebunan hingga masyarakat adat. Naiknya BBM juga akan menambah angka kemiskinan.

"Jika ingin melihat implikasi dari kenaikan harga BBM tersebut pada petani yang menghadapi Ketimpangan agraria seperti masyarakat dalam perkebunan tentunya dapat menciptakan kemiskinan baru," kata Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto dalam siaran pers, Senin (26/3/2012).

Selama beberapa periode kekuasaan pasca reformasi, kenaikan harga BBM tidak pernah diikuti dengan kenaikan harga TBS (Tandan Buah Sawit) yang di hasilkan petani sawit. Dampak lanjut dari Kenaikan BBM ini bagi petani kelapa sawit akan memperbesar biaya indek K (indek K adalah Potongan pabrik untuk TBS milik petani dalam rangka biaya pengolahan dan pengangkutan CPO-Crude Palm Oil) yang diatur dalam penentuan harga Komoditas kelapa sawit dan itu menguntungkan perusahaan perkebunan.

"Dalam proses ini, pengusaha perkebunan akan melibatkan petani sawit menanggung biaya tinggi dari kenaikan BBM tersebut melalui Indek K," ujarnya.

Ia mengatakan, besarnya biaya ongkos pengangkutan Tandan Sawit dari kebun ke pabrik menjadi salah satu dampak terkait kenaikan BBM. Diperkirakan, ongkos angkut tersebut anak naik 150% dengan biaya angkut sebesar Rp 180/kg.

"Hal tersebut di tambah lagi dengan biaya lain seperti misalnya upah Panen dan harga pengangkutan Pupuk," katanya.

Kondisi jalan yang rusak dalam rangka pengangkutan Buah sawit akan berpengaruh pada naiknya transportasi pengangkutan. Petani swadaya akan semakin terpuruk karena harga sawit akan ditentukan oleh tengkulak.

"Tengkulak akan menentukan harga lebih rendah lagi dari pabrik karena proses pengangkutan dan kondisi jalan yang kurang memadai," jelasnya.

Begitu pun halnya buruh perkebunan yang status nya Buruh Harian Lepas atau buruh Kontrak yang jumlahnya 60%, kata dia. Upah Buruh kontrak belum sesuai dengan standar kehidupan layak. Standar Upah nya selalu berada di bawah UMR (Upah Minimum Regional).

Menurutnya, kehidupan buruh kontrak ini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun perusahaan perkebunan yang mempekerjakannya. Biaya transportasi dan biaya kehidupan sehari-hari dan peralatan pekerjaan di biaya sendiri oleh buruh.

"Sehingga, kenaikan harga BBM selain menurunkan daya beli nya juga berpengaruh kepada nasib masa depannya dan hilangnya pekerjaan," ucapnya.

Situasi konflik dalam perkebunan kelapa sawit yang terjadi selama ini harus menjadi sebuah pertimbangan tersendiri bagi pemerintah untuk masa depan kehidupan petani sawit dan buruh perkebunan. Sesungguhnya, perkebunan kelapa sawit sebagaimana yang dicitrakan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat belum lah teruji dan masih pepesan kosong.

"Maka bukan tidak mungkin, kenaikan harga BBM akan mempengaruhi secara langsung Rumah Tangga kehidupan petani dan buruh perkebunan dan tentunya kondisi itu akan memancing konflik dalam perkebunan yang lebih besar," katanya.

Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan sangat menolak dengan rencana pemerintah tersebut untuk menaikkan harga BBM karena hanya akan menyengsarakan petani dan buruh serta masyarakat adat.

DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, SENIN, 26 MARET 2012

Artikel Terkait