
SAMARINDA. Terhitung sejak Oktober tahun ini bagi badan usaha yang berbentuk
koperasi yang bergerak dibidang pertanian termasuk subsektor perkebunan
yang memiliki penghasilan atau beromzet sebesar Rp4,8 miliar per tahun
menjadi wajib pajak.
"Dirjen Pajak telah mengeluarkan surat edaran tentang penetapan
pengenaan pajak pertambahan nilai 10 persen atas barang hasil pertanian,
perkebunan dan kehutanan," kata Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Hj
Etnawati didampingi Kepala Bidang Mohammad Yunus, Senin (27/10).
Menurut dia, termasuk tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dari
kelompok tani atau koperasi yang bergerak di bidang usaha perkebunan dan
hasil (produk) perkebunan) dengan batasan penghasilan (omzet) minimal
yang telah ditetapkan.
Etnawati menyebutkan saat ini terdapat kebun plasma seluas 172.494
hektar dan kebun kelapa sawit rakyat sekitar 124.130 ha atau total
296.624 ha. "Sudah tentu banyak koperasi pekebun yang akan terkena
aturan dan potensi pemasukan negara semakin besar," ujarnya.
Pada kondisi optimal lanjutnya, rata-rata produksi TBS mencapai 18
ton per hektar per tahun sehingga total produksi mencapai 5,339 juta ton
setahun. Apabila harga TBS per kilogram diratakan semua umur Rp1.300
maka nilai transaksi mencapai Rp6,94 triliun.
"Bila dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen maka dana
yang akan diperoleh negara sangatlah tinggi. Potensi ini akan memberikan
peluang besar dari subsektor perkebunan untuk komoditi kelapa sawit
belum termasuk komoditi lain," jelasnya.
Dijelaskan Etnawati, luasan perkebunan kelapa sawit Kaltim tahun 2013
mencapai 1,140 juta hektar dengan produksi TBS 6,5 juta ton dengan
produksi crude palm oil (CPO/minyak mentah sawit) sekitar 1,7 juta ton.
Sebagian besar produksi CPO Kaltim diekspor melalui daerah lain (Riau
dan Sumatera Utara) karena belum memiliki pelabuhan khusus. "Tekad
Gubernur Awang Faroek Ishak membangun KIPI Maloy sebagai kawasan ekonomi
khusus harus diwujudkan," jelas Etnawati.
Dia menambahkan pengendalian volume ekspor CPO dilakukan
pemerintahmelalui mekanisme penerapan bea keluar (BK) yang bertujuan
penegndali ketersediaan CPO dalam negeri namun tetap bersaing dipasaran
internasional juga sumber pendapatan negara.
Dalam kurun waktu lima tahun BK CPO sangat besar pada tahun 2008
sebesar Rp13,5 triliun dari target Rp4,1 triliun, tahun 2009 sebesar
Rp566 miliar dari target Rp1,4 triliun, tahun 2010 realisasi Rp8,9
triliun dari target Rp5,5 triliun, tahun 2011 sebesar Rp28,9 triliun
dari target Rp5,1 triliun dan tahun 2012 realisasi Rp23,3 triliun dari
target 10 triliun. (mas/vb)
SUMBER : BIDANG USAHA