
SAMARINDA. Peredaran benih palsu kian menghantui
bisnis kelapa sawit di Kaltim, terutama di kalangan perkebunan rakyat.
Maraknya permintaan membuat peluang kesalahan para pekebun memilih bibit
semakin besar.
Seperti diketahui, kebutuhan bibit sawit memang sangat tinggi di Benua
Etam. Itu karena Pemerintah Provinsi Kaltim tengah mengebut program
sejuta hektare sawit tahap dua, hingga 2018 mendatang.
Karenanya, pemerintah melalui Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim terus
meminta penekun sektor ini untuk semakin mewaspadai dan menghindari
penggunaan benih palsu. Selain merekomendasikan sumber sebagai penyalur
resmi yang ditunjuk Kementerian Pertanian (Kementan), masyarakat diminta
cermat memilih benih sawit.
"Beli benih bersertifikat yang disalurkan lewat sumber benih resmi.
Saat ini, dari yang ada di pasaran, sudah mencapai 40 persen yang tidak
bersertifikat. Benih itu dikeluarkan dan diedarkan pihak tertentu di
luar rekomendasi Kementan," ucap UPTD Pengawas Benih Perkebunan Irsal
Syamsa, Rabu (22/7) lalu.
Disbun mencatat, sejak 2012 sampai tahun lalu, sudah sekitar 551 ribu
bibit palsu atau bibit yang tanpa memiliki sertifikat resmi dari sumber
benih yang dimusnahkan. Diduga, masih banyak yang beredar maupun
ditangkar pelaku tidak bertanggung jawab.
Di Kaltim, pintu masuk beredarnya benih palsu itu ada di Nunukan, Kaltara dan merupakan pasokan dari Malaysia.
Untuk mempersempit ruang edar benih palsu, Disbun Kaltim juga
melakukan sertifikasi pada benih-benih resmi yang dihasilkan pekebun di
Benua Etam.
Irsal melanjutkan, para pengedar benih tak resmi biasanya menawarkan produk mereka dengan harga jauh di bawah harga resmi.
Di sumber tak resmi, benih sawit bisa dijual dengan harga Rp 2 ribu per kecambah.
"Kalau di sumber benih yang ditunjuk Kementan memang sampai Rp 10 ribu
per kecambah. Dengan selisih yang jauh ini, mestinya pekebun curiga dan
mencari tahu sumber yang resmi," imbau Irsal.
Secara kasat mata, kata dia, perbedaan benih palsu dengan yang asli
nyaris tak terlihat. Sebagai contoh, jika menggunakan benih atau bibit
asli, pekebun bisa memanen hingga 2-5 ton sawit per hektare. Apabila
terlanjur menggunakan bibit palsu, produksi bisa menyusut menjadi hanya 1
ton per hektare, bahkan tak berbuah sama sekali.
"Perbedaan baru terlihat saat tanaman sudah berumur minimal tiga tahun
atau lebih dan sudah berproduksi. Investasi di sawit ini tidak bisa
dibilang kecil, kasihan kalau rugi pada saat harusnya sudah panen,"
ungkap dia.
Sebagai informasi, Irsal menjelaskan, nilai investasi kebun sawit
hingga panen mencapai minimal Rp 39,7 juta hingga Rp 50 juta per
hektare. Kerugian menanam benih palsu akan berdampak pada penurunan
produktivitas sawit sampai umur maksimal, yakni 25 tahun.
"Belum lagi, kalau memang berhasil panen, tandan sawit dari benih
palsu juga bisa merusak mesin. Kami akan terus memperketat pengawasan di
lapangan. Namun, kami juga meminta masyarakat perkebunan sawit untuk
tak tergoda dengan penawaran bibit dengan harga yang jauh lebih murah,"
tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Produksi Disbun Kaltim Sukardi menegaskan,
pihaknya hanya merekomendasikan 10 sumber benih sawit untuk
meminimalisasi potensi peredaran benih atau bibit palsu. Selain jaminan
kualitas, bibit resmi tersebut juga memiliki sertifikat, karena telah
teruji.
"Ke-10 sumber benih tersebut sudah kami sosialisasikan kepada
masyarakat. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut, bisa menghubungi
Bidang Produksi Disbun atau ke UPTD Pengawasan Benih Perkebunan,"
katanya.
Diwartakan sebelumnya, 10 sumber benih yang dimaksudkan tersebut
merupakan rekomendasi dari pemerintah pusat. Di antaranya, Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Socfin Indonesia Medan, PT London
Sumatera Indonesia, PT Bina Sawit Makmur, PT Tunggal Yunus Estate, PT
Dami Mas Sejahtera, PT Tania Selatan, PT Bakti Tani Nusantara, PT
Sasaran Ehsan Mekarsari, dan PT Sarana Inti Pratama. (man/lhl/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SABTU, 25 JULI 2015