JAKARTA. Tudingan Amerika Serikat (AS) yang menilai minyak sawit (CPO) Indonesia merusak lingkungan dinilai tidak beralasan.
Pasalnya data yang digunakan Environment Protection Agency (EPA) AS menggunakan asumsi dan data-data yang tidak tepat.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan, Senin (30/4).
Manurut Fadhil, isu-isu lingkungan tudingan yang dilakukan EPA AS yang
lebih ke arah strategi dagang AS untuk melindungi industri biofuel dalam
negeri.
"Intinya NODA (Notice of data availability) itu bisa saja mereka
buat sesuai dengan tujuan aturan sendiri (aturan standar emisi gas
rumah kaca dari energi terbarukan di AS) . Tapi saya kira yang kita
temukan data yang mereka gunakan tidak tepat dan banyak kekurangan.
Misalnya ada aspek dibuat untuk melindungi industri dalam negeri,"
jelas Fadhil.
Sebelumnya, CPO Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat minimal
standar energi terbarukan AS terkait emisi gas rumah kaca, sebesar 20
persen. Notice of data availability (NODA) dari EPA AS menyebutkan
biofuel CPO Indonesia berada di level 17 persen. AS kemudian memberi
waktu hingga 28 April kepada Indonesia untuk menjawab tudingan tersebut.
GAPKI melihat draft dan data yang ditudingkan oleh EPA tidak
memiliki bukti dan fakta serta informasi yang cukup terkati CPO
Indonesia. Sehingga, berdasar hasil analisis NODA dari EPA, CPO
Indonesia dibawah standar dari gas emisi rumah kaca. "Pengkajan yan kita
lakukan data-data dan asumsi serta model yang mereka gunakan banyak
yang harus di-update dan tidak tepat," tegasnya.
Data dan asumsi yang tidak tepat, lanjut Fadhil, antara lain
adalah data perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan serta
emisi dari lahan gambut. "Data-datanya salah," imbuhnya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 30 APRIL 2012