Indonesia Tangkis Tudingan AS terkait Minyak Sawit
01 Mei 2012
Admin Website
Artikel
3803
JAKARTA. Tudingan Amerika Serikat (AS) yang menilai minyak sawit (CPO) Indonesia merusak lingkungan dinilai tidak beralasan.
Pasalnya data yang digunakan Environment Protection Agency (EPA) AS menggunakan asumsi dan data-data yang tidak tepat.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan, Senin (30/4). Manurut Fadhil, isu-isu lingkungan tudingan yang dilakukan EPA AS yang lebih ke arah strategi dagang AS untuk melindungi industri biofuel dalam negeri.
"Intinya NODA (Notice of data availability) itu bisa saja mereka buat sesuai dengan tujuan aturan sendiri (aturan standar emisi gas rumah kaca dari energi terbarukan di AS) . Tapi saya kira yang kita temukan data yang mereka gunakan tidak tepat dan banyak kekurangan. Misalnya ada aspek dibuat untuk melindungi industri dalam negeri," jelas Fadhil.
Sebelumnya, CPO Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat minimal standar energi terbarukan AS terkait emisi gas rumah kaca, sebesar 20 persen. Notice of data availability (NODA) dari EPA AS menyebutkan biofuel CPO Indonesia berada di level 17 persen. AS kemudian memberi waktu hingga 28 April kepada Indonesia untuk menjawab tudingan tersebut.
GAPKI melihat draft dan data yang ditudingkan oleh EPA tidak memiliki bukti dan fakta serta informasi yang cukup terkati CPO Indonesia. Sehingga, berdasar hasil analisis NODA dari EPA, CPO Indonesia dibawah standar dari gas emisi rumah kaca. "Pengkajan yan kita lakukan data-data dan asumsi serta model yang mereka gunakan banyak yang harus di-update dan tidak tepat," tegasnya.
Data dan asumsi yang tidak tepat, lanjut Fadhil, antara lain adalah data perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan serta emisi dari lahan gambut. "Data-datanya salah," imbuhnya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 30 APRIL 2012
Pasalnya data yang digunakan Environment Protection Agency (EPA) AS menggunakan asumsi dan data-data yang tidak tepat.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan, Senin (30/4). Manurut Fadhil, isu-isu lingkungan tudingan yang dilakukan EPA AS yang lebih ke arah strategi dagang AS untuk melindungi industri biofuel dalam negeri.
"Intinya NODA (Notice of data availability) itu bisa saja mereka buat sesuai dengan tujuan aturan sendiri (aturan standar emisi gas rumah kaca dari energi terbarukan di AS) . Tapi saya kira yang kita temukan data yang mereka gunakan tidak tepat dan banyak kekurangan. Misalnya ada aspek dibuat untuk melindungi industri dalam negeri," jelas Fadhil.
Sebelumnya, CPO Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat minimal standar energi terbarukan AS terkait emisi gas rumah kaca, sebesar 20 persen. Notice of data availability (NODA) dari EPA AS menyebutkan biofuel CPO Indonesia berada di level 17 persen. AS kemudian memberi waktu hingga 28 April kepada Indonesia untuk menjawab tudingan tersebut.
GAPKI melihat draft dan data yang ditudingkan oleh EPA tidak memiliki bukti dan fakta serta informasi yang cukup terkati CPO Indonesia. Sehingga, berdasar hasil analisis NODA dari EPA, CPO Indonesia dibawah standar dari gas emisi rumah kaca. "Pengkajan yan kita lakukan data-data dan asumsi serta model yang mereka gunakan banyak yang harus di-update dan tidak tepat," tegasnya.
Data dan asumsi yang tidak tepat, lanjut Fadhil, antara lain adalah data perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan serta emisi dari lahan gambut. "Data-datanya salah," imbuhnya.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SENIN, 30 APRIL 2012