Hilirisasi CPO, Pebisnis Bergairah
22 September 2014
Admin Website
Berita Daerah
4489
SAMARINDA. Perdagangan internasional segera
mengatur kebijakan ekspor bahan mentah. Salah satunya, crude palm oil
(CPO). Pemprov Kaltim pun mewacanakan membuat peraturan daerah yang
melarang kelapa sawit diekspor seluruhnya sebelum diolah jadi produk
turunan. Kalangan pengusaha bergairah menyambut positif rencana itu.
Ketua Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim M Slamet Brotosiswoyo mengatakan, itu keinginan kalangan pengusaha sedari dulu. Bahkan dia menyebut, jika perlu seluruh potensi sumber daya alam di daerah ini diatur regulasinya agar tak diekspor dalam bentuk bahan mentah, termasuk batu bara.
Memang kini nilai jualnya sedang turun. Ke depan bila telah stabil, itu bisa direalisasikan. Dampaknya akan sangat baik bagi Kaltim. Karena selama ini bila hanya bahan mentah keuntungannya kurang maksimal. "Dengan begitu (bahan jadi) ada nilai tambah tersendiri dan mampu berdaya saing," ucap Slamet, Rabu (17/9).
Tentu sambungnya, diperlukan kawasan industri jangka panjang untuk mengolah hingga produk turunan. Jika itu terlaksana maka tercipta industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. "Itu penting karena selama ini potensi SDA (sumber daya alam) Kaltim yang melimpah ruah belum padat karya. Adanya (industri), masyarakat sekitar pabrik bisa diberdayakan. Semua pihak diuntungkan," paparnya.
Dikemukakan dia, angkatan kerja di provinsi kaya SDA ini masih tinggi. Tercatat, mencapai 9,8 persen. "Mengatasinya (pengangguran tinggi) dengan cara membangun industri padat karya," sebut dia.
Selain itu, keuntungannya yakni produk yang diolah memiliki nilai tambah. Kalau sudah begitu mampu berdaya saing. Pertumbuhan ekonomi mesti sejalan dengan penyerapan tenaga kerja. Bila tak seimbang, sebenarnya tidak membangun secara utuh. "Itu kuncinya," ujar dia.
Biar bagaimanapun SDM mesti diperhatikan agar mereka memilih daya beli tinggi. "Kalau sudah daya beli tinggi, mendukung keberadaan industri itu. Kalau pengangguran banyak, tingkat konsumsi rendah," jelasnya.
Dikatakan di pasar Indonesia, 48 persen dikuasai barang impor. Idealnya terang dia, hanya 15 persen barang dari luar. "Kalau itu sudah tercapai, baru terlihat keberhasilannya. Indonesia ini konsumtif, pasar potensial," tuturnya.
Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Azmal Ridwan menuturkan, tak menyoal usulan Gubernur Kaltim untuk membuat regulasi tersebut di provinsi ini. Diakuinya, itu sudah sempat diperbincangkan dengan orang nomor satu di Pemprov Kaltim itu, beberapa waktu lalu di Balikpapan. Usulannya, yakni 40 persen CPO digunakan di dalam negeri dan sisanya diekspor. "Beliau (Gubernur Kaltim, Red) menanyakan, kata saya siap saja. Kalau harganya menjanjikan, kenapa tidak," ujar Azmal.
Tapi dia memberi catatan agar hilirisasi CPO itu hidup. Sehingga arah bahan baku itu menjadi jelas. Dia sangat berharap kawasan industri di Maloy itu dibenahi infrastrukturnya. Agar rencana itu mulus dan tak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Kenapa di Kaltim produk-produk menjadi mahal? "Karena (daerah) kita yang menghasilkan bahan mentahnya, lalu dijual dan diproduksi orang lain. Barang jadinya kita beli kembali. Mahal karena ongkos distribusinya,” jelasnya. Itu semua lantaran Kaltim tak memiliki pabrik pengolahan. “Kalau ada di sini, ongkos itu bisa dipangkas," ujar dia.
Azmal menerangkan, CPO yang banyak diekspor pun tak membuat pihaknya untung besar. "Untuk ekspor banyak dokumen yang mesti dipenuhi. Untungnya sedikit," akunya.
Diwartakan, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyebutkan migas dan batu bara merupakan sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui. Makanya perlu disiapkan lokomotif baru, yakni pertanian dan perkebunan.
Sebagai informasi, luas areal kelapa sawit di Kaltim, yakni 1,13 juta hektare. Ke depan akan semakin luas menjadi 2,4 juta hektare. Saat sekarang, terang dia, telah ada 80 pabrik kelapa sawit penghasil crude palm oil (CPO). Menanggapi sawit tak boleh lagi diekspor sebelum diolah pada 2015, soal itu, pemprov akan membuat perda. "Akan dibangun beberapa smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian mineral). Tidak semua bisa diekspor. Harus memenuhi standar internasional," sebutnya.
Itu sejalan dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy. (ril/lhl/k14)
SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 22 SEPEMBER 2014