
SAMARINDA. Perdagangan internasional segera
mengatur kebijakan ekspor bahan mentah. Salah satunya, crude palm oil
(CPO). Pemprov Kaltim pun mewacanakan membuat peraturan daerah yang
melarang kelapa sawit diekspor seluruhnya sebelum diolah jadi produk
turunan. Kalangan pengusaha bergairah menyambut positif rencana itu.
Ketua Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Kaltim M Slamet Brotosiswoyo mengatakan, itu keinginan kalangan
pengusaha sedari dulu. Bahkan dia menyebut, jika perlu seluruh potensi
sumber daya alam di daerah ini diatur regulasinya agar tak diekspor
dalam bentuk bahan mentah, termasuk batu bara.
Memang kini nilai jualnya sedang turun. Ke depan bila telah stabil,
itu bisa direalisasikan. Dampaknya akan sangat baik bagi Kaltim. Karena
selama ini bila hanya bahan mentah keuntungannya kurang maksimal. "Dengan begitu (bahan jadi) ada nilai tambah tersendiri dan mampu
berdaya saing," ucap Slamet, Rabu (17/9).
Tentu sambungnya, diperlukan kawasan industri jangka panjang untuk
mengolah hingga produk turunan. Jika itu terlaksana maka tercipta
industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. "Itu penting
karena selama ini potensi SDA (sumber daya alam) Kaltim yang melimpah
ruah belum padat karya. Adanya (industri), masyarakat sekitar pabrik
bisa diberdayakan. Semua pihak diuntungkan," paparnya.
Dikemukakan dia, angkatan kerja di provinsi kaya SDA ini masih tinggi.
Tercatat, mencapai 9,8 persen. "Mengatasinya (pengangguran tinggi)
dengan cara membangun industri padat karya," sebut dia.
Selain itu, keuntungannya yakni produk yang diolah memiliki nilai
tambah. Kalau sudah begitu mampu berdaya saing. Pertumbuhan ekonomi
mesti sejalan dengan penyerapan tenaga kerja. Bila tak seimbang,
sebenarnya tidak membangun secara utuh. "Itu kuncinya," ujar dia.
Biar bagaimanapun SDM mesti diperhatikan agar mereka memilih daya beli
tinggi. "Kalau sudah daya beli tinggi, mendukung keberadaan industri
itu. Kalau pengangguran banyak, tingkat konsumsi rendah," jelasnya.
Dikatakan di pasar Indonesia, 48 persen dikuasai barang impor.
Idealnya terang dia, hanya 15 persen barang dari luar. "Kalau itu sudah
tercapai, baru terlihat keberhasilannya. Indonesia ini konsumtif, pasar
potensial," tuturnya.
Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
Kaltim Azmal Ridwan menuturkan, tak menyoal usulan Gubernur Kaltim untuk
membuat regulasi tersebut di provinsi ini. Diakuinya, itu sudah sempat
diperbincangkan dengan orang nomor satu di Pemprov Kaltim itu, beberapa
waktu lalu di Balikpapan. Usulannya, yakni 40 persen CPO digunakan di
dalam negeri dan sisanya diekspor. "Beliau (Gubernur Kaltim, Red) menanyakan, kata saya siap saja. Kalau harganya menjanjikan, kenapa tidak," ujar Azmal.
Tapi dia memberi catatan agar hilirisasi CPO itu hidup. Sehingga arah
bahan baku itu menjadi jelas. Dia sangat berharap kawasan industri di
Maloy itu dibenahi infrastrukturnya. Agar rencana itu mulus dan tak
menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Kenapa di Kaltim produk-produk menjadi mahal? "Karena (daerah) kita
yang menghasilkan bahan mentahnya, lalu dijual dan diproduksi orang
lain. Barang jadinya kita beli kembali. Mahal karena ongkos
distribusinya,” jelasnya. Itu semua lantaran Kaltim tak memiliki pabrik
pengolahan. “Kalau ada di sini, ongkos itu bisa dipangkas," ujar dia.
Azmal menerangkan, CPO yang banyak diekspor pun tak membuat pihaknya
untung besar. "Untuk ekspor banyak dokumen yang mesti dipenuhi.
Untungnya sedikit," akunya.
Diwartakan, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menyebutkan migas dan
batu bara merupakan sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui. Makanya
perlu disiapkan lokomotif baru, yakni pertanian dan perkebunan.
Sebagai informasi, luas areal kelapa sawit di Kaltim, yakni 1,13 juta
hektare. Ke depan akan semakin luas menjadi 2,4 juta hektare. Saat
sekarang, terang dia, telah ada 80 pabrik kelapa sawit penghasil crude
palm oil (CPO). Menanggapi sawit tak boleh lagi diekspor sebelum diolah
pada 2015, soal itu, pemprov akan membuat perda. "Akan dibangun beberapa
smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian mineral). Tidak semua bisa
diekspor. Harus memenuhi standar internasional," sebutnya.
Itu sejalan dengan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy. (ril/lhl/k14)
SUMBER : KALTIM POST, SENIN, 22 SEPEMBER 2014