BANDUNG. Kebijakan bea keluar (BK) atau pajak ekspor
sawit yang dilakukan oleh Indonesia berdampak pada industri sawit di
Malaysia. Meski menjadi negari produsen sawit, Negeri Jiran itu masih
mengimpor sawit dari Indonesia untuk diolah.
Direktur Hasil Hutan
dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam mengatakan
sejak pemberlakuan BK atas CPO efektif, industri hilir sawit Malaysia
khususnya untuk olein bisa anjlok hingga 50%.
"Dia kan
membutuhkan bahan baku dari kita. Sejak pemberlakuan BK, pasokan ke sana
berkurang, utilisasi produksinya anjlok menjadi 50%. Artinya,
pemberlakuan BK itu ampuh," kata Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan
Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam di acara diskusi Forwin, di
Lembang, Bandung, Minggu (1/7/2012)
Lebih lanjut, Aryan
menyebutkan saat ini Malaysia lebih maju dalam hilirisasi industri
berbasis CPO atau sawit mentah. Malaysia memproduksi 100 turunan produk
CPO, sedangkan Indonesia hanya memproduksi sekitar 47 turunan produk
CPO.
"Kita memacu ke sana. Hilirisasi. Dan, akan menghasilkan
nilai tambah berlipat. Semakin ke hilir, nilai tambahnya semakin
tinggi," ujar Aryan.
Catatan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sait
Indonesia (GAPKI), saat ini ada sebanyak 1.911 industri sawit di
Indonesia. Menghasilkan 23,5 juta ton CPO dari area 8,2 juta hektar
lahan.
Sementara itu disisi lain, Gabungan Pengusaha Kelapa Sait
Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah agar penetapan besaran bea keluar
(BK) produk hilir CPO perlu dikaji kembali untuk disempurnakan.
Pasalnya, pemberlakuan BK atas produk CPO dan turunannya dinilai tidak
efektif.
"Level BK untuk produk hilir sebaiknya di-nol-kan dan
level untuk CPO dikurangi. Kalau hulu dan hilir sama-sama dikenakan BK,
tidak efektif. Perlu disempurnakan," kata Direktur Eksekutif GAPKI,
Fadhil Hasan
Menurut Fadhil penerapan BK yang maksimal bisa
mencapai 25% berpotensi menyebabkan penyelundupan pasalnya petugas bea
dan cukai tidak bisa membedakan antara CPO dan produk turunan.
"Kalau
besaran BK itu dievaluasi, yang hilir dinolkan, tujuan hilirisasi bisa
tercapai. Dan, distorsi terhadap industri diminimalkan. Besaran BK CPO
hingga 25% itu menyebabkan smuggling. Dirjen Bea Cukai tidak tahu beda
CPO dan turunannya," kata Fadhil.
DIKUTIP DARI DETIK, MINGGU, 1 JULI 2012